Lihat ke Halaman Asli

Fera Nuraini

TERVERIFIKASI

Belajar Tentang "Kehilangan" Bersamamu

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356793062680464834

[caption id="attachment_232138" align="alignnone" width="560" caption="Victoria Harbour"][/caption] Wangi bunga yang kamu sentuh itu tak sewangi tubuhmu yang tercium olehku. Kamu tampak ceria hari ini, lebih ceria dari sebelumnya. Senyummu, tawamu, gerak tubuhmu dan semua yang ada padamu membuatku semakin jatuh hati. Mungkin terlalu cepat, tapi aku tak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Kamu berhasil mencuri hatiku tanpa penolakan atau pemberontakan. Aku pasrah, bertekuk lutut padamu. Ya, aku pasrah menyerahkan semuanya kamu ambil, kamu kuasai. Hatiku, perasaanku, sayangku dan cintaku. Semua mengalir deras tanpa penghalang, semua mengalir tanpa hambatan menujumu. Sejak kita dipertemukan dalam tragedi kecelakaan yang merenggut maut lima orang itu, aku terus saja memikirkanmu. Wajahmu selalu terbayang, saat tanganmu membersihkan luka di pelipisku dengan tissu yang tinggal satu. Kamu nampak kebingungan, lalu kamu melepas scraf yang menutupi lehermu. Pelan kamu mengusap darah yang ada di wajahku. Aku merintih bukan karena sakit, aku merintih karena menikmati tiap gerak tanganmu yang bermain indah di wajahku. Untung saja aku sempat meminta nomor hapemu. Kalau tidak, mungkin aku akan sangat menyesal seumur hidupku. Mengenalmu adalah keindahan yang tak bisa terlukis dengan pensil pewarna, tak bisa tertulis dengan bolpoin warna hitam, yang tak bisa terungkap dengan kata. Aku menyukaimu sejak saat pertama kali pandangan kita bertemu. Tapi, entah kenapa sudah seminggu kamu tak berkabar. Kamu kenapa? Kamu di mana saat ini? Tak biasanya kamu seperti ini. Aku mencarimu ditiap sudut kota yang menjadi tempat favoritmu, namun tak kutemukan. Aku bertanya ke semua sahabatmu, namun tak kudapati jawaban. Kamu menghilang serupa debu yang terbang dibawa angin. Tolong, jangan kamu buat aku seperti ini. Aku limbung tanpamu. Aku takut, sangat takut kehilangan meski hanya bayanganmu. Kamu tentu masih ingat kenapa aku mengenggammu kuat-kuat, karena aku tak ingin kehilanganmu. Ini bulan keenam aku kehilanganmu. Aku hancur tanpamu. Aku lemah tanpa hadirmu di sisiku. Kamu begitu banyak mengajariku tentang arti sebuah kepemilikan dan kehilangan. Sungguh, aku tak ingin membahas "kehilangan" ini. Mungkin aku lelaki paling lemah. Karenamu, ya semua karenamu. Karenamu aku lemah, tak berdaya menghadapi pergantian matahari dan bulan tiap harinya. Kamu matahari segaligus bulanku. Kamu juga bintang yang selalu gemerlapan di sudut-sudut hatimu. "Lagi mikir apa?" "Avis......" Sosok yang aku rindukan kini berdiri di depanku. Dengan senyum yang tetap sama dan sorot mata yang selalu membuat goncangan di dadaku lebih dahsyat dari sebelumnya. "Kamu kemana saja, tahukah kamu aku mencarimu kemana-mana. Aku,,,,,aku,,,,aku kangen." Racauku bertubi-tubi sambil memeluk tubuh langsing itu dan sesekali mengelus pipi dan mengusap rambutnya. "Aku masih di sini. Untukmu." Jawabnya manja tanpa rasa bersalah. "Kamu kurusan. Wajahmu penuh bulu. Kamu kan tahu aku tak suka ini. Aku suka Gery yang bersih dan rapi." Rajuknya sambil mengacak-acak rambutku dan memencet hidungku. Wajahnya tiba-tiba cemberut dan semakin membuatku gemas untuk tidak mendaratkan ciuman di pipinya yang mulus. Ada penolakan tapi aku tak peduli. Selanjutnya, kami menghabiskan malam di pinggir laut  sambil menikmati bintang-bintang di langit yang seolah bertepuk tangan atas pertemuan kami.  Victoria Harbour menjadi saksi untuk kesekian kalinya aku menghabiskan malam dengannya. Dia mulai bercerita kenapa menjauh dariku dan sengaja menghindari dari tempat-tempat yang menjadi favoritnya karena pasti aku akan menemukannya. Matanya berkaca-kaca saat mengingat bagaimana hancurnya perasaan dia ditinggal oleh orang yang sangat dia sayangi. Rasa takut kehilangan menjadikan dia belajar akan arti sebuah perkenalan dan hasil yang akan dia dapatkan kedepan dari perkenalan itu. Dari perkenalan dia belajar harus menyiapkan diri jika suatu saat nanti harus kehilangan. "Gery, kamu tahu aku pobhia, kan? Kamu tahu aku paling takut dengan yang namanya kehilangan?" Dengan suara bergetar Avis menatapku dalam. Matanya berkaca-kaca. "Enam bulan aku menjauhimu. Aku ingin tahu apa kamu merasa kehilanganku. Aku ingin kamu juga merasakan sakitnya kehilangan. Mungkin aku jahat, sangat jahat memerlakukanmu seperti ini. Tapi dengan begini, aku ingin kita sama-sama belajar untuk kuat, sabar dan iklas saat kita sama-sama ditinggal oleh orang yang kita sayangi." Tambahnya. Aku tak membalas ucapannya. Aku menarik tubuhnya, mendekapnya dan mendekatkan kepalanya ke dadaku. Aku ingin dia mendengar degup jantungku yang seolah ingin meloncat keluar karenanya. Aku tahu kini kenapa dia sering terdiam saat menatapku seolah ingin mengetahui isi dalam kepalaku lewat tatapan matanya. Aku mengerti kini kenapa dia mengindariku saat aku tanya "maukah kamu jadi bidadari hatiku." Dan kini, tak perlu aku minta, Avis mengambarkan perasaannya lewat genggaman jarinya yang begitu kuat menggenggam jemariku, juga melalui tatap matanya yang bisa aku baca seperti berkata, "berjanjilah untuk setia denganku, hanya denganku."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline