Berawal dari luangnya waktu, maka saya memutuskan untuk menonton film comedy ringan dan menemukan film The Joneses (2009), lalu saya download dan tonton. Saya akan menceritakan sinopsis dan pandangan dari sudut pandang budaya dan humanisme. (picture form google image with keyword the joneses, sorry i forgot that web.) Film ini menceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah (stave) ibu (kate), 1 anak perempuan (jane) dan 1 anak laki-laki (mike) pindah ke sebuah komplek perumahan mewah, mereka memiliki segala barang mewah dan keluarga yang ideal. Mereka tersebut merupakan marketing dalam skenario kehidupan dan memasarkan segala produk dengan membaur dan memperlihatkan gaya hidup yang dianggap "ideal". Interaksi-interaksi sosial pun dilakukan baik terhadap tetangga, teman-teman sekolanya, kolega sang ayah hingga teman-teman sang ibu. Dengan dasar manusia yang ingin berbaur dan memiliki rasa iri, maka strategi mereka dalam meningkatkan penjualan berhasil, orang-orang dalam lingkungan mereka berubah menjadi sama gaya hidupnya dan menjadi sangat konsumtif. Hingga suatu ketika ada seorang tetangganya mengadakan pesta dan semua perabot hingga makanannya sama persis seperti yang ada di keluarga jones. Tetangganya tersebut membeli semua barang demi mendapati kehidupan yg dianggap "ideal" termakan akan gaya hidup the joneses hingga keesokan harinya setelah pesta, sang istri menemukan banyaknya tumpukan tagihan kartu kredit di ruang kerja suaminya dan menemukan suaminya mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di dasar kolam. Lalu steve jones merasa bersalah atas kejadian tersebut, dimana pekerjaan memasarkan barang membuat orang konsumtif hingga mengakibatkan nyawa melayang sehingga dia mengaku kepada polusi dan resign dari pekerjaannya. Garis besar ceritanya seperti itu walopun memang ada sisipan romance antara steve-kate, disorientasi seksual mick, serta jane yang senang dengan pria yang lebih tua. *ulasan dibawah ini, saya bikin 2 hari setelah nonton, jadi ga sesemangat pikiran setelah nonton. Dalam dunia kapitalis seperti saat ini, manusia tidak dipandang secara personal melainkan sebagai objek, objek target pasar bagi para produsen dalam mencari keuntungan melalui produk. Produk bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan melainkan pemenuhan akan gaya hidup, sehingga kita berada dalam masa konsumerisme dimana kita dikendalikan oleh produk. Dalam alur dimana para marketing terselubung tersebut memasarkan produknya dengan membaur dengan masyarakat memanfaatkan sifat iri manusia yang ingin sama, menyamai, menandinggi maupun melebihi, mereka berhasil, membuat para tetangganya merasa ketinggalan zaman dengan prduk-produk yang digunakannya dan membelinya. Disini ada peran desainer, ya itu kita bahas lain waktu. Keluarga ideal yang keluarga jones tampilkan memberikan persepsi bahwa untuk menjadi seperti itu perlu rumah bagus, mobil mewah, iniitu segalanya. Manusia terus berkonsumsi tanpa mengendalikan nafsu dalam hatinya dan mendengarkan pikirannya akan butu tidaknya. Sistem tukar yang semakin mempermudah orang untuk memiliki barang tanpa harus memiliki uangnya dahulu dengan hanya gesekan benda tipis seperti kartu nama yang berhubungan dengan bank, dan terbukanya dunia teknologi yang memberikan informasi secara transparant tanpa mengenal batas wilayah dan waktu, maka hal tersebut mempermudah manusia dalam proses konsumsi produk. istri tetangganya memilih berbagai produk yang sama dengan keluarga jones dan saat dilihat totalnya sangat membekak, sempat ragu, lalu suaminya membolehkannya demi membuat istrinya bahagia dan terming-iming persepsi ideal. Walaupun dia tahu tagihan-tagihan sebelumnya tidak bisa dibayar dan rumahnya akan disita dalam waktu 6 bulan jika tidak dilunasi. Dan keesokan harinya setelah mereka "pamer" produk-produk yang dimilikinya dalam sebuah rangkaian gathering, sang suami tewas, stress tidak bisa membayar tagihan kartu kredit. Betapa jahatnya sistem tukar saat ini, dengan segala penyangkala "harusnya manusia yang mengendalikannya, jangan salahkan sistem" ya benar memang, sistem tersebut sudah membaca sifat dasar manusia bagaimana manusia berfikir, merasakan, bertindak. Lagi-lagi manusia hanya sebagai objek, objek penelitian untuk membuat sistem yang menjadikan manusia itu sendiri sebagai target (objek). Apakah dalam kasusu tersebut manusia dilihat secara personal? sebagai pria beristri, tulang punggung keluarga, memiliki perasaan, disaat dia meninggal bagaimana nasib psikis dan masa depan istrinya? bagaimana trauma akan membentuk manusia setelah itu? jawabannya adalah tidak. kita hanya sebagai objek dalam sebuah permainan. Manusia memiliki perasaan dan pikiran yang bilang salah dan benar, hanya saja kebenaran dan keburukan menjadi samar dan abu-abu. Disaat ingin melakukan hal benar mengkonsumsi sesuai kebutuhan, maka ada kosekuensi dimana ia tidak bisa masuk kedalam ruang sosial tertentu bahkan ruang sosial lingkungan sekitar sehari-harinya, yang pada akhirnya mau tidak mau demi bisa berbaur maka manusia menyerupai lingkungan tersebut. Ya itulah gaya hidup mengkotak-kotakan manusia dari produk-produk yang digunakan dan kegiatan yang dilakukan. Film ini diputar tahun 2009 dan saat ditonton tahun 2012, efek gaya hidup dan konsumerisme tahun 2009 disana sama dengan tahun 2012 di Indonesia, itu membuktikan bagaimana "penyakit" bisa menyebar sangat cepat dan dalam waktu 3 tahun hingga ke negara berkembang seperti kita dan tetap bertahan menjadi sesuatu yang penting. Berarti ini lama kelamaan akan menjadi sesuatu hal yang biasa sehingga memudarkan rasa empati manusia satu dengan yang lainnya dalam melihat secara personal bukan sebuah objek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H