Lihat ke Halaman Asli

Feny Livia Manjorang

masih beginner.

Ingin Membentuk Kebiasaan Baik, tapi Lupa untuk Mengidentifikasi

Diperbarui: 18 Februari 2022   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by kira schwarz from Pexels

"doi suka lari, aku ikutan lari, eh jatuhnya jadi meniru tanpa mengidentifikasi."

Akhir-akhir ini, aku lagi merenung mengenai aktivitas yang kulakukan sehari-hari. Setiap hari siklusnya selalu sama, bangun pagi, mandi, makan, dan tidur.  Diselangi membuka sosial media, aku melihat banyak orang sangat produktif yang berbanding terbalik denganku. Kok bisa ya mereka seproduktif itu dan punya kebiasaan baik?.        

Membuka jendela, aku melihat tetanggaku sedang lari pagi. Aku pun bertekad membiasakan diri setiap pagi untuk berlari selama 30 menit sebelum melakukan aktivitas. Ternyata belum sampai dibatas waktu yang ditentukan, aku sudah kelelahan. 

Akibatnya, aku tidak lagi melakukan lari pagi dan memilih kembali mengikuti siklus hidupku seperti biasanya. Karena kegelisahan ini, aku bertanya-tanya bagaimana sih membentuk kebiasaan yang baik? Kok tetap susah banget walau sudah punya role model? Apa yang salah?

Setelah semua pertanyaan itu muncul, aku mulai mengintropeksi diri. Bertanya kenapa aku harus melakukan kebiasaan itu?. Pertama, aku tidak punya alasan melakukan kebiasaan tersebut. Aku melakukannya karena merasa baik-baik saja. 

Aku lupa untuk membentuk sebuah "kebiasaan" harus memiliki output agar dapat grow up. Berdalih dengan alasan "yaudahlah jalanin aja layaknya menjalani hidup seperti air yang mengalir". Tanpa sadar, aku tidak menyadari bahwa air itu akan mengalir ke air comberan atau sungai yang bagus.

Kedua, aku tidak aware terhadap rasa suka ataupun tidak suka pada kebiasaan itu. Aku sering terpaksa mengikuti kebiasaan yang ada dilingkunganku atau sedang tren, seperti lari pagi. Beberapa orang mungkin cocok dengan lari pagi, namun aku tidak menyadari dan berani jujur bahwa "kebiasaanku bukan disitu". 

Lalu, masih suka "saving the face" / budaya tidak enakan yang membuatku terjerumus pada kebiasaan kelompok. Seperti belanja, nongkrong di coffee shop, dan gaya hidup hedonisme. Reminder, "saving yourself" lebih penting daripada "saving the face".

Ketiga, aku tidak punya mimpi yang mustahil untuk membantu membentuk kebiasaan. Untuk menjadi the better person aku harus membentuk kebiasaan baik yang membantu untuk mencapai tujuan. Aku harus menemukan critical reason kenapa harus bertumbuh yang akan mendrive untuk punya satu kebiasaan.

Oleh karena itu untuk membangun kebiasaan baik, pentingnya orang-orang mengidentifikasi penyebab dan tujuan dari kebiasaan yang ingin dilakukan. Kebiasaan bukan bropen science tetapi proses yang every single day

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline