Pantesan masih terus belajar Bahasa Indonesia penggunaan kata sifat dengan kata kerja saja kita belum paham.
Awal masuk perkuliahan, aku memilih untuk memasuki klub debat. Sebenarnya tidak ada alasan khusus memilih klub ini hanya karena iseng semata. Daripada buang-buang waktu setelah pulang kuliah lebih baik dihabiskan saja semua waktunya dengan hal bermanfaat pikirku saat itu. Pertama kali masuk klub debat aku sangat antusias melihat temanku beradu argumen. Penyampaian yang sangat tegas dengan nada yang beroktaf rendah sampai tertinggi. Namun sayangnya, perdebatan tersebut berakhir dengan tidak menyenangkan. Ada pertengkaran yang terjadi dan berlanjut sampai kelas sudah selesai berlangsung. Sependengaranku pertengkaran ini terjadi karena salah satu tim terbawa perasaan atau terlanjur emosi.
Melupakan kejadian di klub debat, pada saat kegiatan belajar berlangsung, temanku mengajak aku untuk mendiskusikan isu terkini. Aku menyetujuinya karena menganggap ini sebagai peluang atau bahan latihan untuk mengikuti lomba debat. Kami mengeluarkan opini masing-masing, temanku dikubu kiri sementara aku berbeda dengannya. Tetapi apa yang terjadi? Aku malah tercederai karena opiniku bertentangan dengannya berdampak dengan nyinyiran yang enggak enak. Katanya aku bodoh, keras kepala, dan tidak berpikiran terbuka serta menutup diri untuk menerima masukkan.
Untuk menenangkan diri, aku berselancar di dunia maya. Aku mengoogle cara berpikiran terbuka, ciri-ciri orang yang memiliki wawasan luas, dan tips penyampaian argumen dengan baik. Setelah membaca tips tersebut, aku beralih bermain sosial media dan kembali melihat orang-orang berdebat. Bermula dari story instagram sang influencer terkenal, dia meminta pendapat mengenai sebuah masalah. Lalu membalas dan menanggapi komentar dari netizen sebagai feedback karena sudah memberikan tanggapan. Apa yang terjadi? Sang influencer malah dikatakan sesat, terlalu kaku, dan close minded.
Aku semakin tidak mengerti mengapa orang-orang sangat mudah memberikan label tertentu kepada setiap manusia yang berbeda. Baik itu karena perbedaan argumen, keyakinan, dan norma yang dijalankan. Parahnya lagi hal yang dianggap udah melampaui batas, ketika seseorang kontra maka langsung mendapatkan label close minded dan tidak toleransi. Label ini sering diberikan kepada orang-orang yang kontra terhadap isu patriarki, LGBT, bigot, seks bebas, dan bercandaan soal agama.
Penggunaan kata open minded akhir-akhir ini sudah sangat berlebihan dan berseliweran dimana-mana. Gelar open minded seperti sesuatu yang eksklusif hanya pantas diberikan kepada seseorang yang berani terbuka melewati batas norma sosial. Jika kaum open minded ini ditentang, mereka berlindung dengan alasan memiliki hak berbicara. Ya benar, setiap manusia memang memiliki hak untuk berbicara tetapi bukan berarti dapat bebas berbicara sepenuhnya. Hak berbicara yang benar adalah tidak membenci, tak menormalisasi kebebasan yang berbahaya, dan berempati terhadap komunitas lain.
Open minded bukan kata kerja yang bisa dipakai begitu saja, melainkan sebuah kata sifat. Pemikiran yang terbuka akan mendiskusikan ide-ide baru bukan menentangnya. Tidak memberikan statement untuk selalu menyatakan bahwa pendapatnya benar, melainkan cendrung fokus memberikan pemahaman kepada orang lain tanpa menghakiminya. Mampu menerima dua pemikiran dengan konsep berbeda, memproses dan memikirkannya, lalu melakukan redefinisi dari apa yang dia pahami.
Pemikiran terbuka tidak digunakan untuk mendapatkan validasi dari orang lain bahwa kita benar, pintar, dan memiliki wawasan yang luas. Tidak berlindung dengan menggunakan kata baper ataupun hak berbicara sekalipun menurut diri sendiri, kita yang benar. Karena setiap manusia punya pandangan dan definisi masing-masing yang paling ideal menurutnya mengenai sesuatu. Jadi apakah merendahkan martabat orang lain termasuk open minded? Yuk, kita koreksi diri masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H