Lihat ke Halaman Asli

Jangan Nilai Orang Dari Tampilannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1364963811753408399

[caption id="attachment_245880" align="aligncenter" width="640" caption="graphic by @fenomenye"][/caption] Penampilan orang memang kadang menipu. Orang yang penampilannya dekil belum tentu kantongnya tipis, bisa jadi ia malah orang kaya. Sebaliknya, orang yang kelihatannya perlente belum tentu juga banyak duit. Jadi benar apa kata pepatah, “jangan nilai buku dari sampulnya”, maka berhati-hatilah menilai orang. Seorang kawan pernah malu berat gara-gara salah menilai seseorang. Saat itu ia bermaksud menjemput kedatangan seorang big bos di bandara. Masalahnya hanya satu, ia belum pernah bertemu dan tahu muka si big bos itu. Nah, di tempat kedatangan, dengan memperhatikan ciri-ciri khas perusahaannya, kawan saya itu pun memastikan bahwa dua orang pria yang sedang celingak-celinguk bingung adalah benar big bos yang ia jemput. Dengan percaya diri tinggi, ia pun menyapa keduanya. “Maaf Bapak dari PT Anu ya?” tanya kawan saya. Setelah mereka tersenyum dan mengangguk, kawan saya pun menyalami dengan hormat pria bertubuh gemuk dan agak mengabaikan pria kecil kurus di sampingnya. “Mari, mari Pak Bos, kita ke mobil, sini saya bawakan tasnya…” ucap kawan saya. Dari situlah situasi berubah menjadi kikuk setelah pria gemuk itu menjelaskan bahwa sang big bos ternyata pria kecil kurus di sampingnya. Pria gemuk itu hanyalah karyawan biasa yang mendampingi si bos dalam perjalanan. Beginilah jadinya kalau kesimpulan hanya berdasar penilaian bentuk fisik seseorang. Betapa malunya kawan saya terhadap tamu tersebut. Menilai seseorang dari tampang juga bukan tindakan yang bijak. Bisa-bisa orang lain tersinggung gara-gara penilaian kita. Situasi ini pernah menimpa saya beberapa tahun lalu. Saat itu saya sedang berada di dalam bus tua ber-AC yang masih belum terisi banyak penumpang. Maka bus tersebut masih merayap pelan di jalanan Jakarta. Seorang penjual koran tampak berjalan di dalam bus sambil menawarkan dagangannya. “Koran, koran.. Kompas, Media Indonesia, Republika…!” teriaknya. Abang koran itu kemudian berhenti di deretan bangku depan saya. Ia menawarkan koran pada seorang pria rapi berkemeja yang kelihatannya orang kantoran. “Pak, Media Indonesian-nya…” ucapnya. Namun, penawarannya ditolak karena pria tersebut sudah pegang Kompas di tangannya. Abang koran itupun beralih ke saya. “Mas, Lampu Hijau-nya Mas…?” ucapnya. What?! Hampir mata saya copot mendelik. Mengapa giliran saya malah ditawari koran Lampu Hijau? Itu koran beritanya benar-benar vulgar, penuh esek-esek, kriminal dan masalah dunia ghaib juga. Tidakkah si abang koran itu sadar kalau saya ini pantesnya baca koran-koran normal kayak Kompas dan kawan-kawan. Emang ada yang salah dengan tampang saya yak? Masak muka santun begini dikira suka baca esek-esek? Nyang bener aja Bang?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline