Lihat ke Halaman Asli

Duka Status Janda di Masyarakat

Diperbarui: 27 Oktober 2023   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi duka serta stigma yang melekat pada janda. Sumber: Shutterstock via grid.id

Setiap orang yang menikah, pasti memiliki keinginan untuk bersama hingga maut memisahkan. Namun terkadang halangan di tengah perjalanan pernikahan, membawa pasangan suami istri harus mempertaruhkan pernikahannya di meja hijau hingga berakhir dengan perceraian, dalam masyarakat istilah ini dikenal sebagai cerai hidup. Ada dua istilah cerai dalam masyarakat, cerai hidup dan cerai mati. Dikatakan cerai mati, jika salah satu pasangan, baik suami ataupun istri meninggal dunia. 

Penilaian masyarakat terhadap dua jenis janda ini berbeda. Masyarakat cenderung untuk memandang cerai mati lebih baik dan lebih tinggi kedudukannya daripada cerai hidup, entah apa yang mendasari penilaian tersebut, sehingga perlakuan masyarakat terhadap dua jenis janda ini juga dipengaruhi oleh penilaian tersebut. 

Dalam masyarakat yang patriarki, perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan tidak utuh jika tanpa laki-laki, baik itu sosok ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Sehingga ketika perempuan itu hidup sendiri, cenderung dianggap tidak memiliki kedudukan yang sama dengan perempuan lain yang memiliki 'pagar' (baca: laki-laki) dalam hidupnya. 

Seorang janda cerai hidup yang tinggal sendiri dan harus membesarkan anak dari hasil pernikahan sebelumnya seorang diri, seharusnya mendapat apresiasi. Membesarkan dan mendidik anak seorang diri bukan hal yang mudah, ditambah lagi harus mencari nafkah, karena mantan suami tidak memberi nafkah untuk anaknya. Ditambah lagi jika keluarga janda tersebut tidak membantu, maka sudah jelas ia sebagai pemain tunggal. 

Sayangnya, dalam masyarakat hal tersebut tidak mendapat perhatian. Bahkan cenderung menyalahkan janda tersebut, salah sendiri, kenapa dulu memilih cerai, dan banyak komentar pedas lainnya. Dalam kehidupan bertetangga, janda juga selalu dipermasalahkan dalam tata laku. Misalnya jika ramah dengan tetangga lawan jenis dianggap genit, padahal ramahnya bukan hanya dengan lawan jenis saja. Jika tidak banyak interaksi dianggap sombong dan tidak mau bersosialisasi.

Masalah administrasi perbankan juga repot. Misalnya, janda akan mengajukan kredit atau KPR, akan lebih ribet dibandingkan jika yang mengajukan pasangan suami istri. Lebih banyak pertanyaan dan keraguan dari pihak bank, mungkin hal ini berbeda jika seorang janda tersebut tajir melintir. Tapi masalahnya, kebanyakan janda adalah perempuan biasa yang harus banting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. 

Dalam sebuah seminar pernikahan, seorang pembicara menyinggung jumlah perceraian yang semakin meningkat, dan menyalahkan perempuan sebagai pihak yang banyak menuntut, entah ini komentar yang serius atau bercanda, saya tidak tahu. Meningkatnya kasus perceraian di pengadilan agama, dengan jumlah cerai gugat lebih tinggi dibandingkan cerai talak, tidak lantas menunjukkan bahwa perempuan terlalu banyak tuntutan. Perlu dikaji dan dianalisis lebih jauh, mengapa dan bagaimana, karena jumlah saja tidak dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan, dan jika digunakan untuk mengambil kesimpulan, maka kesimpulan yang dihasilkan akan terlalu dangkal.

Dalam institusi perguruan tinggi, yang seharusnya berisi kaum intelektual yang seharusnya juga berbanding lurus dengan etika dan perilaku yang sopan, tidak lepas dari pelecehan dan merendahkan status janda, meskipun tidak ada hubungan status perempuan tersebut dengan kinerjanya, sungguh miris. Maka tidak heran, jika dalam masyarakat merendahkan status janda adalah hal yang biasa, lha wong di perguruan tinggi aja terjadi kok, apalagi di masyarakat yang beragam tingkat pendidikannya.

Janda juga manusia, sudah selayaknya dihargai dan dipandang sebagai individu yang memiliki derajat yang sama dengan masyarakat yang lain. Jika tidak bisa membantu dan meringankan beban kehidupannya, paling tidak bantulah dia dengan menghargainya dan tidak merendahkannya. Kita tidak pernah tahu nasib dan jalan hidup, siapa tahu kelak anda yang berada pada posisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline