Dua minggu lagi seorang saudara jauh akan menikah. Terbayang betapa bahagia dan hebohnya dia, apalagi sebagai pengantin perempuan yang persiapannya memang lebih ribet dibanding pengantin laki-laki. Cuma kehebohan persiapan pernikahan ini akan direm oleh adanya wabah Covid 19.
Karena pernikahan yang diselenggarakan tidak boleh memunculkan kerumunan orang, dengan kata lain, tidak ada pesta yang meriah, bahkan jumlah orang yang datang ke kantor KUA saja dibatasi tidak lebih dari 10 orang.
Saya melihat sisi baiknya, sebagai penghematan, karena tabungan yang dipersiapkan untuk pesta di gedung bisa dialihkan untuk kebutuhan berumah tangga setelah ijab kabul.
Berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga ini, dari cerita saudara lain, saya jadi tahu bahwa saudara jauh saya yang akan menikah ini minta kado berupa barang rumah tangga kepada sejumlah saudara yang lain.
Hal ini dilakukannya karena toh tidak ada pesta dan ia tidak menerima amplop seperti layaknya pengantin lain yang menyelenggarakan pesta.
Kado barang berupa perlengkapan rumah tangga ini akan dimanfaatkannya untuk mengisi rumah barunya yang akan ditempatinya bersama suaminya kelak setelah menikah.
Rumah bersama ya? Cash apa kredit? Siapa yang beli? Atas nama siapa? Bayarnya iuran mereka berdua atau bagaimana?
Sejumlah pertanyaan itu menggelitik saya. Karena fenomena ini kerap ditemui dalam keseharian kita. Seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa yang berpacaran dan sudah mantap satu sama lain untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, akan merencanakan untuk tinggal dimana setelah menikah.
Muncullah ide untuk membeli rumah secara kredit secara bersama-sama.
Sekilas ide ini brilian dan sepertinya menjawab permasalahan tempat tinggal bagi pengantin baru. Namun, dari sisi keamanan keuangan kedua belah pihak, hal ini tidak bisa dilakukan.
Rumah yang dibeli bersama oleh pasangan tanpa ikatan yang sah (baca: pacaran) tidak bisa diperhitungkan sebagai harta bersama dalam pernikahan. Aset, dalam hal ini rumah, dibuat atas nama perorangan.