Setiap insan yang fana, pasti memiliki angan-angan. Orang menyebutnya mimpi. Seperti kata pepatah, memang mudah jiwa ini tuk bermimpi setinggi bintang di langit, namun pengorbanan yang besar harus dikerahkan untuk menggapai mimpi-mimpi tersebut
Sebagai seorang gadis yang tumbuh pada masa penjajahan, semua yang diketahui nya hanyalah ketakutan, kegentaran, dan hampa yang menyelimuti masa mudanya. Melihat kakak laki-lakinya dipaksa bekerja tanpa dibayar, merupakan pemandangan yang sudah tak asing dimata gadis tersebut. Dalam doa nya setiap waktu, tak lupa ia memohon pada Sang Pencipta untuk mengabulkan mimpinya.
Suatu pagi yang cerah di tahun 1943, matahari bersinar terik dan berada tepat diatas kepala. Waktu menunjukan pukul 12 siang dan lonceng sekolah berdentang disusul oleh iringan seruan murid-murid SDN Cahaya yang bahagia untuk kembali kerumah. “Ayo anak-anak, sudah tiba waktu kalian untuk pulang sekolah!” seru seorang gadis cantik yang merupakan guru dari murid-murid sekolah tersebut. Setelah murid-murid tersebut berdoa sesuai agama masing-maing, berserulah mereka dengan kompak, “Terima kasih Ibu Guru, sampai jumpa esok hari, kami sayang Ibu.” Walaupun perkataan tersebut selalu diucapkan setiap hari, namun, hal itu selalu membuat hati nya terenyuh dan terharu. Dimatanya, kata-kata tersebut lebih indah dari kata-kata mutiara apapun. Karena baginya, tiada yang lebih berharga selain senyuman murid-muridnya.
Umur yang masih belia tidak membuat Dewi berhenti bermimpi dan menguburkan mimpinya ke pusat bumi. Sejak masih belia, Dewi sudah bercita-cita menjadi guru. Pada masa kecilnya, pendidikan masih sangat minim. Terutama bagi seorang anak petani dimana dalam memenuhi kebutuhan primer saja sudah terseret-seret. Dewi teringat, saat ia berumur 8 tahun, diam-diam ia mencuri buku milik seorang tentara Belanda. Ia baru menyadari nya saat telah dewasa bahwa perbuatan tersebut dapat merenggut nyawanya. Dewi merupakan anak yang gemar membaca dan menulis. Setiap hari, ia menulis jurnal harian nya dalam sebuah buku. Setelah penantian nya selama kurang lebih 16 tahun, akhirnya mimpi Dewi terwujud untuk menjadi seorang guru. Walaupun pekerjaan nya hanyalah boneka dan alat bagi bangsa Jepang untuk mempropagandakan Jepang. Tidak hanya itu, upah yang diberikan sangatlah minim.
Namun, mimpi Dewi tidak berhenti sampai disana. Tanah kelahiran nya, Indonesia, telah dijajah oleh negeri kincir angin dan negeri sakura. Sebuah ingatan terbesit di pikiran nya. Sebuah tragedi yang membekas di hatinya, menorehkan sayatan dan goresan yang mendalam pada lubuk hatinya. dimana ayah Dewi , yang merupakan tulang punggung keluarga, dibunuh oleh tentara Jepang karena tidak menyerahkan sawah miliknya. Hal itu membuat Dewi benci dengan bangsa penjajah. Dalam catatan harian nya, ia menulis ketidaksetujuan nya mengenai penjajahan. Perlahan tetapi pasti, luka di hatinya itu bertumbuh menjadi sebuah mimpi. Ya, mimpi untuk memberantas dan menghapus penjajahan di tanah air nya.
Dewi terbangun dari tempat tidurnya yang terbuat dari bambu. Seperti biasa, ia langsung mempersiapkan diri untuk mengajar di sebuah sekolah yang dibangun oleh tentara Jepang. “Selamat pagi bu Dewi,” seru Dina, seorang murid nya ketika Dewi telah tiba di sekolah. “Pagi Dina, apakah kamu sudah mengerjakan pekerjaan rumah yang telah ibu berikan kemarin?” jawab Dewi sambil mengelus rambut Dina. “Sudah dong bu,” jawab Dina penuh semangat. Anak-anak lain pun berhamburan masuk kelas, sebab tak lama lagi lonceng akan berdentang. Pelajaran pun dimulai. Setiap anak sangat antusias belajar. Dewi tersenyum gembira melihat murid-muridnya yang pantang menyerah dalam mengerjakan soal. Walaupun tidak mengenakan seragam dan tidak beralas kaki, mereka tetap antusias menimba ilmu dan mengerjakan soal demi soal tanpa mengeluh. Ditengah keheningan kelas, tiba-tiba tanah dan gedung sekolah mulai bergetar. Sebuah geraman yang besar pun terdengar di telinga Dewi. anak-anak saling menatap satu sama lain dan terpampang wajah yang penuh tanda tanya. Seperti ada alarm yang berdering pada pikiran Dewi, ia langsung berseru kepada anak-anak. “Cepat kita keluar dari sekolah ini! Cepat!” Teror dan kegentaran melingkupi pikiran nya. Keringat membanjiri dahi dan telapat tangan Dewi.
“Ada apa bu?! Mengapa kami harus keluar?” seru seorang anak penuh kebingungan.
“Pokoknya kita keluar sekarang juga! Tentara Jepang akan datang!” seru Dewi setengah berteriak. Suara teriakan dan pekikan anak-anak mulai terdengar, ada yang menangis bahkan sampai meraung-raung. Wajah Dewi menjadi pucat. “Mungkinkah tentara itu datang untuk menghancurkan kami?” seru batin nya.
Sebuah suara letusan terdengar tak jauh dari sekolah tersebut. Suara yang memekakan telinga dan membuat jantung melonjak tak keruan.
“CEPAT KELUAR NAK! Tentara Jepang sudah datang!” teriak Dewi histeris.
“Lari! Semua lari! Tentara Jepang akan mengebom sekolah ini!” seru seseorang sambil berlari terbirit-birit menyelamatkan diri.