[caption id="attachment_117494" align="aligncenter" width="680" caption="Sketsa Bandara Soekarno-Hatta (dok pinjam dari Aga Khan Award)"][/caption]
"Secara sengaja desain bandara dibuat demikian agar tidak menjadikan bandara Sukarno-Hatta sebagai monumen yang lazim dan tidak berkarakter"
Terlepas dari masalah ketimpangan sosial dan hak asasi manusia, pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan Indonesia di era 80-90an terbilang relative kuat. Bahkan era ini juga dikatakan sebagai titik tertinggi Indonesia modern setelah masa perjuangan kemerdekaan. Pertumbuhan ekonomi yang dilihat sebagai tugas pokok dan rencana pembangunan negeri yang berjangka plus terpadu membuat investasi besar-besaran pihak asing dan lokal memutar roda ekonomi secara cepat. Alhasil tidak heran peningkatan mobilitas dalam negeri menjadi sangat jelas atau signifikan. Pertumbuhan inipun terlihat dari kenaikan jumlah pengguna jasa penerbangan sebesar 21-25 persen saat itu. Dua bandara saat itu, Kemayoran yang khusus untuk penerbangan domestik dan Halim khusus penerbangan international akhirnya pun tidak mampu menampung jumlah penumpang besar ini di akhir tahun 70an.
Bandara Soekarno-Hatta Sebagai Mahakarya
Layaknya Kuala Lumpur International Airport (KLIA) yang berdiri sebagai hasil nyata perkembangan pesat ekonomi dan gerbang masuk Malaysia saat ini, Bandara Soekarno-Hatta telah terlebih dahulu muncul dan menjadi gerbang masuk internasional Indonesia yang bergengsi di era 80-90an. Bahkan desain Sukarno-Hatta pernah di jejerkan dengan bandara Paris yang terkenal, Charles de Gaulle Airport, yang juga di desain oleh arsitek Prancis yang sama, Paul Andreu. Namun demikian, berbeda dengan di Prancis, dalam mendesain Soekarno-Hatta Paul Andreu mempertahankan nilai positif konsep arsitektur Indonesia yang selalu menekankan kepada kesinambungan dan hubungan simbiosis dengan alam. Oleh karena itu ia memperkenalalkan pendekatan arsitektur post-modern yang memperbolehkan penggabungan elemen modern, budaya populer Indonesia dan lingkungan sekitar bandara, yang saat itu dikelilingi hamparan sawah padi yang indah menjadi satu, sehingga konteks budaya Indonesia yang kental dapat terasa dan terlihat dari semua penjuru bandara. Dimulai penumpang yang ada di luar, di dalam bandara, di dalam pesawat, bahkan yang akan mendarat. [caption id="attachment_114868" align="alignright" width="300" caption="Pipa-pipa yang digambarkan sebagai bambu penunjang"][/caption] Penggabungan ini bisa di lihat dari model ujung gedung timur terminal yang dihiasi dengan jendela-jendela kecil, kemudian ruang tunggu dan ruang bandara yang di hiasi oleh ornamen-ornamen ukiran, fondasi atap bandara yang seakan-akan serangkaian bambu yang menompang atap saung, atap yang tinggi untuk ventilasi, jarak antara tanah dan lantai bangunan seperti panggung dan juga taman-taman ada di samping ruang tunggu penumpang. Dalam membangun mahakarya ini, Indonesia dengan partner asal Prancisnya membutuhkan lebih dari sepuluh tahun dimulai dari proses sketsa, tender, pembangunan fase satu (terminal 1 dari tahun 1980an awal hinggal 1985), hingga pembangunan fase dua (terminal 2 dari tahun 1987 hingga 1992). Namun demikian perjalanan panjang ini tidak sia-sia, Paul Andreu dengan bantuan anak-anak bangsa Indonesia lainnya telah berhasil menerapkan pendekatan arsitektur post-modern yang menggabungkan elemen modern dan budaya populer Indonesia hingga menghasilkan bangunan berkonsep karakter bangsa yang kuat ini. Soekarno-Hatta pada akhirnya tidak hanya membawa nama dan image pemimpin pertama Indonesia namun juga sungguh-sungguh menjadi mahakarya pengusung karakter bangsa yang memberikan kesan pertama menggoda bagi para pengunjungnya.
Dari Anugrah Arsitektur Aga Khan Hingga Kini Riwayatmu
[caption id="attachment_114869" align="alignleft" width="300" caption="Tamah di tengah-tengah ruang tunggu"][/caption] Tiga tahun setelah Terminal dua di operasikan, Bandara Soekarno-Hatta meraih penghargaan arsitektur Aga Khan yang semakin meperkuat betapa bergengsinya Bandara ini di mata dunia Internasional. Anugrah ini diberikan atas keberhasilan Bandara Soekarno-Hatta dalam mengintergrasikan fitur-fitur alam sekitar bandara, seperti pemaksimalan lahan taman dikeliling ruang tunggu sehingga terlihat hijau, pemanfaatan pencahayaan alami, dan sirkulasi udara. 16 tahun berselang, kini dua terminal di bandara Soekarno-Hatta mengalami tantangan yang sama seperti yang di hadapi oleh Kemayoran dan Halim. Jumlah pengunjung di dua terminal sudah mencapai lebih dari 18 juta per tahunnya, angka yang bisa ditampung dua terminal lama bandara ini. Alhasil ketersedian tempat parkir menjadi masalah, fasilitas publik menjadi masalah dan bandara menjadi sangat padat seperti terminal bus. Keadaan sekarang perlahan merubah persepsi bandara Soekarno-Hatta yang berkelas, berseni dan bergengsi di mata dunia dan nasional. Nilai-nilai kecantikan bandara ini kian semakin tergerus dengan kepadatan yang tidak tertata ini.
Bandara Soekarno-Hatta Untuk Awal Abad 21
Namun jangan kawatir! Pemerintah, Paul Andreu dan anak-anak bangsa dahulu telah memperkirakan dan mempersiapkan Soekarno-Hatta sebagai proyek jangka panjang, bahkan dikatakan sebagai projek untuk "early part of next century" (abad 21). Lahan bandara Soekarno-Hatta telah siap untuk ekspansi empat terminal yang berdampingan. Ekpansi terminal 3 tahap pertama sudah siap pada tahun 2008. Tahap keduanya masih di rencanakan. Sedangkan Terminal 4 dan rangkaian kereta api bandara-jakarta dikatakan akan dimulai tahun 2020. Namun demkian adalah sangat memperihatinkan saat tahu dan melihat bahwa konsep yang diusung terminal baru ini berbeda dengan pendahulunya yang sangat menekankan pada budaya indonesia yang kental, tidak hanya mengusung konsep modern dan green atau hijau. Salam Felix Kusmanto Tulisan ini juga di publikasikan di blog pribadi saya www.felixkusmanto.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H