Lihat ke Halaman Asli

Felixianus Ali

Wartawan, Peneliti, Penerjemah, Konsultan Media, Penulis

Polisi Bayangan

Diperbarui: 21 Januari 2025   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

POLISI BAYANGAN

Ludahnya belum kering. Masih basah seperti rupiah, deras mengalir, tertahan di kantong seharian memelihara setelah menanam bertahun-tahun lamanya.

Tembok ikut basah saat polisi bunyikan pluit akhir dan awal bulan -- menarik uang dari kantong rakyat, pengendara dengan keji, dilatih siapa polisi bayangan?

Ludahnya belum kering di institusi, tubuh sang atasan sigap terima setoran bak jamur yang tumbuh di musim hujan berkat budaya mendarah daging.

Luka di tubuh institusi tak pernah kering, kembali basah berkat setoran -- langganan segelintir seragam coklat bermain di ranah kasus tuk perkaya diri.

Barisan polisi bayangan selalu ada, hidup dan dipelihara antar angkatan tuk mengisi kekosongan institusi yang tak pernah mampir mendidik anak-anaknya jadi baik, malah jadi sarang penyamun.

"Jangan keras-keras mengeritik aku jika kau ingin selamat", tulis peringatan pertama.

"Jangan meludah ke wajahku tapi meludahlah ke kakiku supaya aku mencuci bekas ludahmu dengan air setoran yang lancar mengalir, ini caraku memelihara kejahatan", peringatan kedua terdengar.

Di sampingnya, tumbuh tanaman liar mirip komplotan penjahat yang dilatihnya, menyebar virus ke ruang-ruang tak berpintu -- berakar kuat, terlatih keuntungan per angkatan lintas pintu armada yang baunya kecium istana juga keciprat rejeki.

"Polisi bayangan terbentuk dari lintas armada yang sulit dimusnahkan sejak kerajaan-kerajaan melatih cara memeras dan membagikan pundi-pundi kekeluargaan". (*)

Lentera, 21 Januari 2025

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline