Hidup bertetangga di dalam masyarakat, seharusnya saling menghargai dan punya etika dan nilai-nilai kesopanan.
Bukan ikut mencampuri urusan hidup orang lain. Apalagi sampai bergosip yang tidak punya ujung pangkal sama sekali.
Sebelum saya merantau, dulu tetangga kami di kampung akan selalu bergosip tentang orang orang.
Entah orang-orang itu hidupnya kaya raya atau miskin atau berpengaruh dan tidaknya, sudah pasti tetangga saya itu bibirnya tidak akan tertutup sedetik pun.
Bibir atau lazimnya mulut tetangga akan selalu berbicara tentang orang-orang yang tidak pernah merugikannya.
Bibir tetangga saya di kampung itu sangat lincah mengeluarkan karangan bebas, seakan akan dirinya paling berpengaruh di kampung itu, dan paling kaya.
Nyatanya, untuk dapat makan sehari saja, masih mengemis alias berhutang di kios, orang yang akan selalu jadi pergunjingannya di bibir yang terlihat tidak menarik.
Setelah saya memilih merantau ke Pulau Jawa hingga sampai Jakarta, awalnya saya mengira orang orang di kota besar, tidak akan pernah bergosip tentang orang lain. Prediksi saya salah. Malahan bibir-bibir tetangga saya di rantauan di kota besar, lebih rusak bahkan sama rusaknya dengan bibir-bibir tetangga saya di kampung. Saban hari akan berkumpul dan bergosip kehidupan orang-orang yang tidak pernah merugikannya.
Biasanya, bibir-bibir tetangga itu akan terus ngoceh dan bergosip tentang orang-orang. Banyak hal yang akan dibicarakan lewat bibir tetangga itu. Dimulai dari anaknya si tetangga yang belum menikah hingga sampai gosip perselingkuhan.
Anehnya, tetangga kosan yang tidak punya sangkut paut sama hidup seseorang, biasanya akan ikut bergosip, akan ikut ngumpul bareng tetangga lainnya. Semua hal digosipin. Semua hal dijadikan buah bibir.
Lantas, apakah bibir-bibir tetangga itu baru bisa berfungsi dengan baik, kalau sudah berhasil bergosip tentang kehidupan orang lain dan merasa puas?