[Puisi] MESIN TUA
Tubuh ini semakin tua seperti mesin yang hampir berkarat. Saban hari ditemui rayap. Bercengkerama sejenak ditemani kopi, pahitnya minta ampun laksana pajak yang makin tinggi menelanjangi dunia.
Ibu kaget setengah mati mengetahui mesin tua itu akan digadai sebagai penebus dosa anak-anaknya yang lamban terlunasi. Ibu menelpon seorang tukang reparasi. Katanya memperbaiki atap rumah yang hampir jatuh sebelum jantungnya diangkat dokter.
Tukang reparasi itu datang membawa setumpuk peralatan. Ibu melihat isi tasnya. Ada juga setumpuk surat di dalamnya. Napas ibu naik turun seperti selepas menendang bola.
Tukang reparasi memberi aba-aba pada ibu. Ibu menunjukkan mesin tua itu. Napasnya masih belum stabil, naik turun. Bola matanya berlari kencang seperti melihat kelinci memamah.
Tukang reparasi berkata lirih: "bu, mesin tua ini mau diapain selain di sini?"
Pertanyaan itu membuat ibu berkaca. Air matanya berubah jadi sungai. Deras sekali. Bahkan hampir tsunami. Situasi mencekam saat itu.
Tukang reparasi melanjutkan perbaikan atap yang bolong sejak tiga hari lalu. Dari balik punggung, ibu berkata seadanya: "jika aku mati, kebumikan aku bersama mesin tua ini".
Lanjut ibu: "dialah satu-satunya penyambung hidupku. Pajak datang tidak pada tempatnya. Berdampak besar pada daya beli. Kita semakin miskin".
Tukang reparasi diam. Matanya mencari sesuatu. Ibu bertanya dalam diam. Dia tertegun dekat kaki mesin tua itu. *
*Bumi Pertiwi, 21 Desember 2024*