Lihat ke Halaman Asli

Mas Haidar

pemimpi layaknya Bung Karno

Pembubaran FPI dan Label Otoritarian Rezim Jokowi

Diperbarui: 2 Januari 2021   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: Republika)

Masih hangat diingatan kita adalah pasca kepulangan Imam Besar FPI Habib Muhammad Riziq Shihab, yang disambut penuh euforia dengan ratusan baliho selamat datang dibanyak titik di Ibu Kota serta ratusan massa yang menjemputnya setibanya di bandara Soetta hingga ke Markas FPI di Petamburan. Meskipun angka positif covid-19 yang kian melonjak, mereka seolah abai dan tak acuh dengan hal tersebut, mereka hanya fokus pada tujuan mereka semata, glorifikasi semu. 

Tak berhenti di situ, mereka kemudian secara terang-terangan dan sengaja  membuat banyak kegiatan yang bersifat masif di tengah Pemda DKI memberlakukan PSBB transisi untuk yang ke sekian kalinya. Sontak hal tersebut membuat pro dan kontra di masyarakat, sebab kerumunan sangat berpotensi menjadi klaster baru penularan covid-19. Banyak dari mereka beranggapan bahwa Pemerintah dalam hal ini Pemda, bahkan Pusat tak punya banyak kuasa bahkan nyali untuk berhadapan dengan sebuah ormas, yang tidak berbadan hukum, bahkan tak terdaftar. Di lain pihak banyak juga yang beranggapan bahwa jika pemilu saja boleh, masa sekedar perkumpulan keagamaan dilarang?, dasar rezim dzalim!.

Ternyata Pemerintah, baik Pemda maupun Pusat tak tinggal diam, dikonfirmasi bahwa Pemda DKI sudah menjatuhkan sanksi denda sejumlah 50 juta, yang terkesan dibesar dan dibangga-banggakan sebagai denda tersebar selama pelaksanaaan PSBB. Pusat sendiri melalui mitra ketertiban Umumnya; Kepolisian, mengusut dugaan pelanggaran UU Karantina Kesehatan oleh Habib Riziq, dan berhasil menjeratnya dengan status tersangka.

FPI, Antara Memukul atau Dipukul

Hampir 2 dekade FPI berdiri, apa yang kita dengar tentang ormas ini kebanyakan adalah suara-suara negatif bernada arogansi, intoleransi, kriminal, melanggar hukum, kebencian, permusuhan SARA, terorisme bahkan sparatisme. Tapi kemudian jangan kita munafik bahwa suara-suara positif bernada tolong-menolong, tanggap bencana, peduli konstitusi, dakwah Islam dan kedemawanan tetap ada. Hanya saja dalam hal ini, branding yang dibangun oleh FPI, barang kali terlampu fenomenal sehingga mudah diingat.

Salah satu model pergerakan ormas ini yang dianggap kontroversi adalah sweeping ke berbagai tempat yang dilabeli sebagai pusat kemungkaran dan kedzaliman, terlebih pada waktu tertentu seperti bulan suci Ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya. Dalam konteks tertentu sweeping bisa saja berkonotasi positif, namun apa yang kemudian FPI lakukan dianggap melebihi kewenanganya sebagai ormas, bahkan cenderung melangkahi prosedur kamtibnas Kepolisian. Ditambah lagi pendekatan yang bersifat represif dan tekesan main hakim sendiri, sehingga konotasinya jelas negatif.

Dalam tulisan ini, penulis secara pribadi tidak menyoalkan tentang asas keIslaman dan kaidah amar maruf nahi munkar yang didalilkan FPI, namun hemat penulis, alih-alih memegang keyakinannya dalam menjalankan agama, di lain pihak mereka justru mencederai dan mengkerdilkan makna Islam sebagai agama yang cinta damai. Meskipun penulis berkeyakinan bahwa Islam adalah Islam tetapi bagaimana orang lain (non Islam) melihat ajaran agama ini adalah melalui tindak tanduk kita selaku penganutnya. Barang kali hal-hal semacam inilah yang menjadi salah satu faktor tumbuh pesatnya tren Islampobia di dunia belakangan ini.

Dalam banyak kesempatan, kegiatan sweeping (yang dianggap pengejawantahan perintah amar maruf nahi munkar) FPI bersinggungan dengan kekuatan fisik semata dari pada pendekatan-pendekatan persuasif, sehingga mereka terbuai dan lupa bahwa negara ini, berlandaskan hukum. Kita tahu bahwa soalan ketertiban umum adalah ranah Kepolisian, tidak ada aturan atau hukum apapun yang membolehkan ormas melakukan hal tersebut, kecuali ada izin resmi dari institusi yang bersangkutan.

Pada akhirnya FPI yang semula ormas, lambat laun berevolusi sesuai dengan apa yang di citakan dan tujuannya membentuk paramiliter, yang sedikit banyak menyamakan dirinya dengan satuan-satuan kamtibnas di negeri ini. Tak sedikit aktivitas mereka yang kemudian berkonfrontasi dengan pihak keamanan resmi republik ini, sesama ormas, golongan suku, ajaran agama tertentu bahkan dengan institusi Pemerintah.

Dari mulai kasus perusakan kantor Komnas HAM, pengrudukan kantor Kedutaan Amerika, perusakan kampung dan persekusi terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah, penolakan terhadap kegiatan keagamaan jemaat sebuah gereja, penyerangan terhadap kegiatan peringatan Hari Panca sila di Monas (Insiden Monas), penghasutan dan provokasi berdasar SARA, penghinaan terhadap tokoh nasional dan Panca sila dan yang terbaru adalah temuan Kementrian Dalam Negeri bersama BNPT tentang adanya beberapa anggota FPI yang terindikasi pada kelompok dan gerakan terorisme. Bahkan imam besar mereka, Habib Riziq kerap diperiksa oleh Kepolisian dan beberapa di antaranya berujuang penetapan tersangka dan mendekam di penjara.

Masalah selanjutnya yang bagi penulis masih menyisakan tanda tanya besar adalah: bagaimana cara-cara yang oleh jumhur dinyatakan kontroversi, pada satu dekade terakhir, justru mulai mendapat posisi di hati banyak umat muslim Indonesia. Entah apa penyebabnya banyak dari mereka kepincut, namun satu yang pasti adalah adanya pergeseran norma dan kondisi sosial masyarakat serta pemahaman beragama yang mulai semakin masif dan intensif namun cenderung instan dan hanya di kulit saja. Isu-isu mengenai Islampobia yang kian menyudutkan posisi umat muslim, serta sentimen Pemerintah anti Islam yang kian dihembuskan, juga membuat posisi umat dihadapakn dengan pilihan; tetap diam melihat penindasan terhadap Islam atau bangkit melawan. Takbiir!!!

Barang kali apa yang sempat Pak Jusuf Kalla sampaikan bahwa ada kekosongan pemimpin umat Islam yang bisa mengarahkan dan memimpin mereka, ada benarnya. Pilihannya tentu akan jatuh ke Habib Riziq dan FPI-nya, yang dianggap sebagai model perlawanan tehadap Pemerintah, atau apapun itu yang mereka anggap yang dzalim, ketimbang pada ormas Islam linier seperti NU dan Muhamadiyyah yang dalam sejarahnya selalu mengedepankan taawun (kompromi), ukhuwah wataniyah (nasionalisme), ukhuwah basyariyah (humanisme) dan tasamuh (toleransi) baik dalam hubungannya dengan Pemerintah ataupun dengan yang lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline