Pada era globalisasi seperti saat ini dan ditambah status Indonesia yang menjadi negara anggota World Trade Organization (WTO) membuat perdagangan antar negara di dunia semakin terbuka. Selama pihak-pihak yang terlibat perdagangan internasional merasa sama-sama diuntungkan, tentu perdagangan bebas akan semakin masif. Jika satu negara tidak mampu menciptakan atau memenuhi kebutuhan suatu produk, maka kekurangan tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan impor. Begitu sebaliknya, jika suatu negara mengalami kelebihan produk maka dapat dijual ke luar negeri (ekspor).
Perdagangan internasional juga marak dilakukan dalam sektor pertanian, baik bahan-bahan makanan, sayuran hingga buah. Indonesia yang memiliki variasi sumber daya alam dan variasi produk pertanian yang melimpah, dilintasi garis khatulistiwa serta memiliki rangkaian gunung berapi membuat Indonesia memiliki potensi dan kapabilitas untuk memaksimalkan kegiatan pertanian sepanjang tahun. Sehingga hal ini membuat sektor pertanian menjadi pilar penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Anggapan tersebut didukung oleh Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Kariyasa (Katadata, 2019) bahwa nilai ekonomi (Produk Domestik Bruto --PDB-) pada sektor pertanian pada tahun 2018 lalu mencapai Rp 395,7 triliun. Selain itu, PDB sektor pertanian di tahun yang sama meningkat sebesar 47% dibandingkan dengan tahun 2014 dan pada akhirnya, porsi pertanian pada pertumbuhan ekonomi nasional meningkat dari 13,14 persen pada 2013 menjadi 13,53 persen pada 2017. Namun hal juga tidak serta merta mampu memenuhi kebutuhan produk pertanian dari negara lain. Misalnya, makanan pokok kita yakni beras yang kekurangannya diimpor dari Thailand, setelah itu ada gula, daging sapi, kurma dan lain sebagainya. Hal tersebut karena memang kebutuhan masyarakat akan contoh produk pertanian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya.
Sektor pertanian merupakan sektor yang memenuhi kebutuhan dasar manusia secara langsung maupun olahan seperti pangan dan yang tidak langsung seperti sandang. Adanya perkembangan dalam sektor ini juga membuat harga-harga bahan makanan relatif lebih terkendali. Masih menurut Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan, inflasi pangan pada 2017 hanya 1,26 persen, turun cukup signifikan dibandingkan dengan inflasi bahan pangan pada 2014 yang mencapai 10,57 persen. Berdasarkan latar belakang tersebut, merupakan sebuah pencapaian yang patut di apresiasi atas kinerja Kementerian Pertanian selama kurang lebih 5 tahun ini.
Tantangan Terkini
Saat ini dan di masa yang akan datang, tantangan yang akan dihadapi tidaklah mudah, khususnya terkait ekspor produk pertanian lokal. Di tengah kondisi ekonomi global masih dalam masa konsolidasi dimana hal tersebut tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar yang relatif masih rendah dan diiringi dengan tingkat suku bunga acuan serta inflasi yang juga rendah. Tentu perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara besar yang beberapa diantaranya merupakan mitra dagang utama dengan Indonesia akan mempengaruhi kinerja ekspor, termasuk untuk sektor pertanian. Maka tak heran, dalam kurun waktu 6 tahun terakhir perkembangan ekspor barang-barang hasil pertanian mengalami fluktuasi yang cukup tajam, baik dari segi volume dan nilai.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Barang-Barang Hasil Pertanian 2011-2017
Dari sisi lain, Indonesia juga merupakan negara yang unggul dalam mengirim produk pertanian ke luar negeri. Contoh yang patut dibanggakan ialah buah manggis yang sudah diekspor ke 29 negara pada tahun 2016. Selain itu, pada tahun yang sama produk pertanian seperti kubis, sawi, bunga kol dan 77 jenis sayuran lainnya sudah di ekspor ke negara Taiwan, Malaysia, Singapura dan Belanda yang dihitung secara total sebesar 40.240 ton (Pertanian.go.id, 2019).
Lalu dalam menyongsong tahun 2019 ini, Kementan memfokuskan beberapa komoditas yang menjadi fokus ekspor seperti kopi, rempah dan kedelai. Dalam menyongsong target tersebut, Menteri Pertanian Amran menyatakan akan berpusat pada kegiatan penanaman kembali atau replanting. Dimana lahan-lahan yang memiliki potensi akan ditanami komoditas yang menjadi fokus ekspor di tahun ini, selain itu akan memanfaatkan lahan rawa untuk melakukan kegiatan produksi (Kontan, 2019).
Adanya intensifikasi produk ekspor khususnya kopi, masih dalam kesempatan yang sama menurut Menteri Arman jika ada proyeksi peningkatan produksi kopi dari 0,7 ton menjadi sekitar 3,5 ton sampai 4 ton. Hal ini menjadikan Indonesia negara pengekspor kopi terbesar di dunia.
Pernyataan Menteri Arman sejalan dengan buku yang berjudul "Analisis Komoditas Ekspor 2011-2017" yang dikeluarkan oleh BPS (2018) dimana data ekspor kopi yang memberikan porsi cukup besar dalam penyumbang devisa bagi negara. Namun perkembangan ekspor komoditas ini berfluktuatif secara agregat karena permintaan kopi di negara-negara maju seperti di tabel 2 memiliki tren yang menurun, walaupun penulis juga menemukan bahwa tren ekspor kopi ke negara-negara berkembang seperti di tabel 3 meningkat. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan volume ekspor kopi Indonesia dalam tren yang menurun, misalnya menurut BPS (2018) adalah karena adanya peraturan sistem kuota. Lalu menurut Murjoko (2017), munculnya negara-negara berkembang seperti Brazil, Kolombia dan Vietnam membuat porsi ekspor kopi Indonesia cenderung menurun terutama di negara-negara maju.
Tabel 2. Volume Ekspor Kopi ke Negara Maju (dalam ton)