Lihat ke Halaman Asli

Upaya Sederhana Pemulihan Korban Penderita Pelecehan Seksual dalam Lingkungan Sosial

Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelecehan seksual telah menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan meningkatnya kasus yang terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hal ini membuat banyak orang merasa tidak aman dan nyaman di ruang publik. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi melalui kontak fisik tetapi juga bisa terjadi secara verbal, seperti melalui siulan, tatapan seksual, komentar yang bernuansa seksual, menampilkan konten pornografi, dan sentuhan yang tidak diinginkan. Tindakan-tindakan ini dapat membuat korban merasa terhina dan merendahkan harga diri mereka, serta menimbulkan berbagai masalah yang berdampak pada kesehatan dan keselamatan mereka. Pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, meskipun seringkali laki-laki lebih dominan sebagai pelaku.

Ada berbagai jenis pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat. Pelecehan bisa berupa penghinaan terhadap korban, terutama perempuan, melalui gambar atau teks yang merendahkan harga diri mereka serta penyebaran humor seksual. Bentuk lain adalah godaan seksual, yaitu perilaku yang tidak pantas yang bisa menyinggung perasaan, seperti memaksa seseorang untuk makan atau minum bersama, terus-menerus menghubungi orang yang sudah menolak, atau memaksa untuk berkencan. Ada juga pelecehan seksual yang berupa suap, di mana aktivitas seksual eksplisit diimbangi dengan janji imbalan. Selain itu, kekerasan seksual dapat terjadi dengan ancaman ulasan pekerjaan yang buruk, penolakan promosi, atau ancaman fisik. Pelecehan seksual juga dapat melibatkan sentuhan yang tidak diinginkan atau kekerasan seksual.

Korban pelecehan sering kali takut untuk berbicara atau mencari perlindungan, yang berdampak negatif pada kesehatan psikologis mereka baik mental, fisik, maupun sosial. Mereka mungkin mengalami kecemasan berlebihan, agresivitas, dan ketidakstabilan emosional, yang dapat berkembang menjadi trauma mendalam. Trauma ini bisa berasal dari alam bawah sadar yang dipicu oleh kejadian masa lalu dan sulit dikendalikan.

Korban pelecehan seringkali merasa lebih nyaman menjauh dari interaksi sosial, baik di masyarakat maupun media sosial, karena depresi dan rasa malu yang membuat mereka merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Mereka mungkin mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), merasa bahwa pengalaman tersebut merupakan akhir dari segalanya dan menghindari situasi yang mengingatkan mereka pada trauma.

Penting untuk berhati-hati dan peduli saat berkomunikasi dengan korban pelecehan seksual. Untuk mencegah kekerasan berulang, sikap terbuka dan komunikasi yang berani sangat penting agar korban merasa aman untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Mereka memerlukan pengobatan dan rehabilitasi mental, yang bisa dilakukan dengan pendekatan komunikasi berbasis emosi dan membangun kepercayaan dengan profesional seperti dokter atau relawan.

Langkah awal dalam pendekatan kepada korban bisa berupa aktivitas sampingan seperti bermain musik atau membaca komik, sebelum secara perlahan membahas masalah yang dihadapi. Dalam komunikasi dengan korban, terutama yang mengalami trauma, penting untuk mendengarkan dengan empati, menjaga kerahasiaan, dan memberikan dukungan untuk memastikan mereka merasa aman dan didengar.

Secara keseluruhan, kondisi psikologis korban sangat berhubungan dengan kondisi biologis di otak, khususnya amigdala yang terkait dengan proses emosi, perilaku, dan memori. Pelecehan seksual bisa berupa lelucon seksual, siulan, ajakan hubungan intim terbuka, penyebaran gosip seksual, eksibisionisme, berbicara tentang pengalaman seksual pribadi, serta sentuhan dan tampilan konten seksual tanpa izin. Pelecehan sering terjadi di tempat umum, memaksa banyak orang untuk lebih waspada terhadap lingkungan mereka. Korban mungkin merasa malu dan bersalah, serta mengalami trauma yang memerlukan penanganan profesional dari terapis atau psikiater dengan kemampuan komunikasi yang baik, terutama dalam pendekatan berbasis perasaan atau emosi.

Referensi:
Dulwahab, E., Huriyani, Y., Muhtadi A.S. 2020. Strategi Komunikasi Terapeutik dalam Pengobatan Korban Kekerasan Seksual, 73. Diakses 15 Oktober 2023, dari http://journal.unpad.ac.id/jkk/article/view/21878 Jannah, P.M. 2021. Pelecehan Seksual, Seksisme Dan Pendekatan Bystander, 64. Diakses 15 Oktober 2023, dari https://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/Psikobuletin/article/view/12023/6049 Makarim, D.F. 2023. Bentuk Pelecehan Seksual Yang Perlu Diketahui, 1. Diakses 17 Oktober 2023, dari https://www.halodoc.com/artikel/bentuk-pelecehanseksual-yang-perlu-diketahui Triwijati, N. E. 2007. Pelecehan seksual: Tinjauan Psikologis, 1. Diakses 17 Oktober 2023, dari https://journal.unair.ac.id/filerPDF/Pelecehan Seksual Tinjauan Psikologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline