Lihat ke Halaman Asli

Felix Sevanov Gilbert (FSG)

Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

Absurd Samakan Prabowo dengan Bongbong Marcos, Why?

Diperbarui: 7 Januari 2024   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Melalui opini singkat yang sebenarnya cukup 4 paragraf saja bisa memberikan perspektif bahwa sebenarnya wajar saja jikalau memang kampanye Prabowo Subianto sekalipun memang sekarang rada masif dan juga getol apalagi menyasar kalangan milenial dan Gen Z sebagai 'kingmaker' dalam Pemilihan Umum 2024 dimana salah satu analisa menyatakan bahwa Prabowo belajar banyak dari Bongbong Marcos bahkan Konsultannya sendiri yang notabene Marcos impor dari Inggris pun dipanggil dan diminta oleh Gerindra dan TKN Prabowo-Gibran untuk desain or rebranding Prabowo yang katanya patriotik bisa menjadi sosok yang gemoy dan dikenal anak muda. Lantas, sebenarnya saya berpandangan bahwa tidak relevan saja menyamakan sosok Prabowo Subianto dengan Bongbong Marcos bahkan banyak artikel menulis hal demikian bahkan sangat dalam berbicara soal kesamaan. Nyatanya banyak juga perbedaan dan sebenarnya lumayan jauh. Bukan dalam konteks membela Bongbong Marcos, tapi faktanya demikian.

Pertama soal pengalaman dan rekam jejak saja. Ini saja sudah mentah, banyak orang yang terlalu membandingkan bahwa Prabowo itu akan sekuat Marcos juga. Kalau ada yang bilang BBM atau Bongbong Marcos 'curi start' Prabowo sebagai Menteri juga demikian apalagi dia Ketua Partai dan memang surveynya di 3 besar terus dimana kadang nomor 1 kadang nomor 2 ya sama saja. Tapi, sebenarnya Marcos spesifik lebih dalam bahwa semua bisa menilai secara rasional dari pengalaman rekam jejaknya. Jadi, agak aneh juga tim pakar TKN menyamakan hanya karena dia punya jejak kelam sebagai bagian dari keluarga diktator (Bongbong anak Ferdinand Marcos dan Prabowo mantan mantu Soeharto). Tidak bisa disamakan seperti itu juga. Apalagi lucunya, Prabowo adalah Militer sama seperti Soeharto sementara Bongbong dan bapaknya Ferdinand bukan Militer.

Kedua, pengalaman politik Prabowo Subianto tidak sekaya Bongbong Marcos. Jika saya secara obyektif melihat, bahwa Bongbong Marcos ini rada mirip dengan Ganjar Pranowo dimana Ganjar sudah 2 periode menjadi Anggota DPR yaitu periode 2004-2009 dan 2009-2014 (terlepas memang hitungannya, periode pertama hasil PAW dan periode kedua tidak sampai habis karena jadi Gubernur), kemudian menjadi Gubernur Jawa Tengah 2013-2018 dan 2018-2023 secara tuntas 2 periode full. Sama halnya dengan BBM, dimana ia merupakan Gubernur Ilocos Norte 3 periode (di Filipina karena masa jabatan Kepala Daerah cuma 3 tahun, jadi tidak terbatas 2 periode bisa 3 bahkan 4 periode menjabat). Setelah itu dia menjadi Anggota DPR (Representative) selama 2 Periode kemudian menjadi Anggota Senate selama 2 Periode, sebelum akhirnya di 2016 ia pernah menjabat sebagai Cawapres dan ia kalah dengan Leni Robredo (disclaimer : Filipina sistemnya juga beda, Presiden dan Wapres tidak sepaket serta bukan 1 kesatuan dwitunggal yang mana Duterte dengan Leni Robredo pun berlawanan bahkan saling oposan sekalipun sama-sama Eksekutif).

Ketiga. Bongbong Marcos sudah pernah di eksekutif dan legislatif sehingga memang pada dasarnya dia juga sudah punya legacy yang paten. Sehingga siapapun elemen masyarakat bisa menilai nyata apa yang sudah diperbuat beliau sebagai Politisi. Prabowo pun baru mau jalan 1 periode menjadi Menhan, itupun karena diangkat Jokowi atas dasar rekonsiliasi, coba bayangkan jika Prabowo tidak pernah menjabat sebagai Pejabat Publik? Kurang lebih seperti AHY, sinarnya tidak terang. Hanya pintar main gagasan tapi tidak aksi nyata, masih lebih mending adiknya Ibas yang jadi DPR dan setidaknya ada kerja nyata secara aspiratif maupun dalam bentuk bantuan-bantuan sudah memadai di Dapil. Jadi, dari narasi ini saja sudah mentah meneruskan yang telah dijelaskan diatas. Bahasa kasarnya, sudah berapa banyak yang sudah dilakukan oleh Prabowo terhadap rakyat secara konkrit. Lihat saja debat pertama, ketika Ganjar dan Anies bisa jumawa memamerkan hasil karya di masing-masing Provinsinya, Prabowo pun hanya memuji-muji Jokowi karena memang Prabowo (maaf kata) hanya pembantu, Menteri kan bukan lantas Eksekutif, dia pembantunya Eksekutif, kalau di Provinsi hanya setara Kepala Dinas saja.

Terakhir, apalagi jika disamakan dengan Gibran. Itu saja sudah salah. Gibran juga tidak sama dengan Sara Duterte, makanya wacana Prabowo-Gibran akan sama dengan Bongbong-Sara itu absurd (terlepas disclaimer tadi sebenarnya Presiden dan Wapres adalah entitas yang berbeda, mungkin jika 2 institusi ini ada di koalisi sama. Konsepnya bukan seperti Dwitunggal antara atasan dan bawahan atau duet. Mungkin, Presiden dan Wapres akan sama seperti Presiden dengan Ketua DPR yang mana kedudukannya sama dan Wapres lebih pada penyeimbang bukan mengikuti arahan). Plus, Sara jangan disamakan juga dengan Gibran. Gibran itu 2 tahun baru jadi Walikota Solo, berbanding Sara yang sudah 6 tahun alias 2 periode menjadi Walikota di Davao, Kota tempat dimana Duterte menjadi Walikota sebelum akhirnya naik sebagai Presiden Filipina di 2016. Sara tidak kutu loncat, karena begitu dia memutuskan diri menjadi Cawapres, masa jabatannya memang sudah berakhir untuk periode ke 2 bukan di pertengahan periode seperti Gibran dimana masih 2 tahun lagi Gibran menjabat sampai 2025 sebagai Walikota tapi dia malah maju Cawapres. Jadi, menurut saya jauh lah. Mungkin akan sama bila tadinya Prabowo dengan Ridwan Kamil, bukan sama karena anak Presiden-nya tapi pengalamannya RK sudah 1 periode Walikota dan 1 periode Gubernur. Masuk akal

Jadi intinya mungkin agar para tim pakar dan tim sukses untuk bisa mempertimbangkan lagi strategi ala Marcos, apalagi ingat bahwa masyarakat Indonesia masih lebih cerdasan dalam berpolitik. Masih agak dewasa, makanya surveynya pun mentok di 40an persen alih-alih bisa ke angka 50an persen. Apalagi sampai 60 persen seperti Bongbong Marcos sehingga dia bisa menang di 59 persen. Filipina mungkin sangat erat dan solid dinasti per dinasti tiap pulau bahkan bisa mengarahkan masyarakat secara solid terhadap pilihannya sekalipun masyarakat hidup dalam 'kekangan' dinasti. Tapi, gambarannya bahwa pilihan itu dihormati dan dijunjung. Maka satu sisi bahwa ada analisa yang buntu dan mentah dimana terkesan tidak sepenuhnya bisa sama, sehingga disisi lain perlu ada perbaikan pendekatan. Soal pendekatannya Wallahualam. Kita tunggu saja nanti, di debat Capres ketiga nanti. Mungkin bisa jadi ada rasionalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline