Disclaimer : Pertanyaan dan Penjelasan apapun yang termasuk ditulisan ini merupakan Opini yang disadur dari berbagai pandangan baik sosial media maupun dari pengamat saja. Bukan lantas sepenuhnya membenarkan namun kira-kira prinsip logikanya mendekati pada data atau mungkin narasi yang menunjukkan adanya sesuatu yang janggal tersebut. Lebih-lebih pada upaya meluruskan saja.
Kurang lebih seperti ini pertanyaan dan tanggapan dari Mahfud MD :
- Mahfud MD merasa tidak sepakat dan ada yang ganjal soal tax ratio 23 persen (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) karena jika situasi kondisi hitungan sekarang dalam skema tarif, model, basis atau sistemik soal perpajakan yang relatif sama. Maka pertumbuhan ekonominya harus digenjot bahkan sampai 10-11 persen per tahun dahulu. Baru bisa mencapai angka seperti itu, dimana hal itu tentunya sangat sulit mengingat secara matematik Tax Ratio kita saja baru 10 persen, dan perlu naik 2 digit dahulu.
- Mahfud MD juga merasa bahwa gagasan Anies-Muhaimin soal 40 Kota ada kejanggalan dimana hal tersebut bisa dibangun dalam 5 tahun kepemimpinan alih-alih dana IKN sebesar 466 T lebih tersebut selayaknya bisa untuk menata kawasan Perkotaan yang ada di seluruh Indonesia agar paling tidak tumbuh 'Jakarta Baru' di seluruh pulau di Indonesia dari Sumatera hingga Papua, paling tidak soal fasilitas umum, infrastruktur fisik dan sosial serta taraf hidup implikasinya bisa lebih memadai merata seperti di Jakarta.
- Mahfud MD menanggapi Muhaimin juga yang dalam visi-misinya berjanji yang mungkin masuk dalam kerangka 'Slepetnomics'. Dimana Mahfud merasa jikalau mereka berjanji ICOR bisa diturunkan sampai 5 bahkan 4 persen dari yang sekarang sekitar 6,25 persen. Asumsi dasarnya bahwa ekonomi tentunya tidak akan kurang dari angka 7 persen. Namun Anies-Muhaimin hanya menargetkan bahwa ekonomi cukup tumbuh di angka moderat 6 persenan saja tertinggi 6,5 persen.
- Mahfud MD sebenarnya setuju dengan IKN bahkan ini adalah cita-cila lama dan menjadi mimpi besar Presiden Jokowi yang sebenarnya merupakan mimpi Presiden Soekarno. Namun Mahfud merasa bahwa sebenarnya agak ragu soal IKN yang justru malah jauh dari harapan dimana Investor belum lantas banyak, sehingga ia mempertanyakan sejauh mana realisasi investasi yang ada di IKN sudah dinilai cukup banyak berhasil padahal Pemerintah Jokowi setiap pertemuan ke luar negeri selalu 'menu' yang disajikan adalah Investasi IKN.
Inilah kira-kira jawaban yang akhirnya dikemukakan baik pada saat debat maupun pasca debat :
Tax Ratio
Soal Tax Ratio 23 persen, memang Gibran telah menjawab bahwa dia akan membentuk Badan Penerimaan Negara yaitu LPNK untuk melebur DJP dan BC sehingga Kemenkeu sama seperti K/L hanya fokus di pengeluaran dan di Badan baru tersebut fokus di pemasukan, disamping Core Tax Administration System yang linier dengan NPWP-NIK yang integrasi 100 persen. Otomatis, semua bisa filling secara elektronik dan masyarakat tidak usah repot input dan tinggal klarifikasi (rasionalisasi administrasi). Otomatis tidak ada celah kebocoran dalam penerimaan sehingga mengacu pada SIN atau Single Identity Number pajak bisa terlacak dan bisa terserap dengan baik dan penerimaan dari segi pajak maksimal. Hanya saja berdasarkan salah satu kajian, itu hanya efektif menaikkan 4-5 persen saja jika fokusnya selain rasionalisasi administrasi namun analogi kebun binatang yang dimaksud seperti membuka basis-basis pajak baru nan masif dimana disinggung baru 30 persen pengguna NPWP jika menjadi 100 persen pun dan dikurangi yang PTKP maksimal 15 persen atau sekitar 2700 T penerimaan pajak.Ternyata belum lama diluruskan, bahwa dalam visi-misi ratio terhadap PDB itu untuk penerimaan negara total, dimana memang sudah termasuk Hibah (termasuk di LN) dan juga PNBP (ada retribusi, royalti, sewa operasi, dll). Berarti 23 persen itu sudah termasuk PNBP dan Hibah. Bisa dikatakan, mungkin jika pajak hanya maksimal 15 persen, bisa jadi 8 persen sisanya memperkuat PNBP yang memang kurang dari 0,5 persen dari PDB. Berarti, jika memang tidak ada kenaikan tarif pajak secara bersasar. Bisa jadi ada penyesuaian di tarif PNBP yang memang sifatnya pemanfaatan atas sesuatu, bukan dibebankan sebagai kewajiban rutin.
Jakarta-Jakarta Baru
Soal pembangunan 'Jakarta Baru' di seluruh Indonesia juga mengalami kerumitan, dimana pada saat debat pada akhirnya disinggung soal contoh bahwa APBD Pontianak cuma 1 Triliun, apabila dana IKN yang sebenarnya 466 T itupun tidak semua menggunakan APBN hanya 20 persen alias 90an T saja dana negara digunakan disitu secara multiyears. Dibagi-bagi kepada sejumlah Kota-kota bersasar mulai dari Metropolitan-Aglomerasi hingga yang kelas Menengah-Kecil mungkin sedikit menyinggung soal Solo yang kata Muhaimin terlalu 'obral' proyek negara. Nyatanya diluruskan lagi bahwa soal Pontianak sendiri pun APBDnya lebih dari 1 Triliun, jikalau memang diberikan dana sebesar 3 Triliun pun belum tentu bisa dampaknya maksimal dan dana tersebut untuk pembangunan skala kecil bukan lantas hitungan total saja. Maksudnya lebih kepada mendekati dan dalam 1 kasus di Pontianak ada Kabupaten/Kota lain yang saling menyambung dan masalah tataruang nya juga kompleks maka mungkin mempertimbangkan soal waktu juga tidak realistis 5 tahun bisa selesai begitu saja. Belum terhitung pula berapa cost dari perpanjangan dari pembangunan yang akan selalu terus menerus dilaksanakan dalam rangka penataan. Tapi, satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa estimasi pembangunan yang sudah ada untuk bisa dipoles benar-benar mendekati Jakarta pun bisa jadi akan lebih mahal daripada 1 IKN karena memang kita juga dihadapkan pada situasi bahwa Kota atau Daerah tersebut memang amburadul, sehingga bukan soal menata namun memperbaiki dimana secara timing juga tidak masuk diakal selesai dalam waktu 5 tahun. Bangun Jakarta bisa sehebat sekarang saja butuh waktu hingga puluhan tahun kok bahkan nyatanya belum selesai juga.
ICOR serendah mungkin Pertumbuhan tetap moderate
Untuk kasus ini saya jadi teringat bahwa Presiden Jokowi juga pernah berjanji pertumbuhan ekonomi 7 persen namun akhirnya tumbuh sekitar 5 persenan saja. Presiden Jokowi akhirnya mengamini dan mengatakan bahwa masalah ini memang sulit karena disatu sisi kondisi geopolitik ekonomi global juga dia masih fokus pada pemerataan. Jadi, sebenarnya Anies-Muhaimin sendiri sebenarnya meneruskan konsepsi yang masih saja dilakukan oleh Presiden Jokowi yaitu meratakan dahulu kawasan-kawasan yang tidak kebagian kue agar sama-sama tumbuh besar. Sebenarnya, tepat jika ICOR ditekan serendah mungkin, bukan tidak mungkin angka 7-8 persen itu tercapai sekalipun mungkin sebenarnya rada sulit untuk tahun-tahun awal tapi jika sesuai prediksi 2025-2026 akan ada booming economy angka tersebut tidak sulit. Hanya saja angka 6 persen bagi Anies-Muhaimin rasional karena fokus menekan kembali rasio gini, atau ketimpangan yang masih terjadi. Memang era Jokowi utamanya di period 2 fokus rasio gini turun lamban tidak semasif di period 2 seiring pula dengan tumbuhnya investasi di timur Indonesia imbas hilirisasi. Demi mengejar ekonomi 7 persen di period 2, sehingga AMIN sendiri berorientasi kepada prospek/orientasi ekonomi seperti Jokowi di period 1. Sebenarnya Jokowi menurunkan rasio gini adalah salah satu nilai revolusioner kerakyatan pada saat itu dimana salah satu cara adalah inflasi yang benar-benar ditekan rendah di jaman beliau sehingga pemerataan lebih mudah, salah satunya dengan program pemberdayaan desa. Era SBY, cenderung ekonomi tinggi inflasi dan rasio gini memang tinggi sehingga kuenya hanya dinikmati segelintir saja waktu ekonomi tumbuh di 6 persen lebih (yang dinilai tinggi tersebut).
Soal Investasi di IKN