Tulisan ini sedikitnya merupakan sebuah opini kritis namun sebagai sebuah pengandaian ketika penulis sendiri berkesempatan untuk menjadi seorang Pimpinan sebuah Daerah dimana terjadi sebuah situasi yaitu rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Sebenarnya penyebab utamanya adalah keterbatasan (bukan dalam hal kecukupan anggarannya) tapi bagaimana pengelolaannya yang berkontribusi pada nilai tambah terutama pada Produk Domestik Regional Bruto yang semakin maksimal.
Sedih sekali ketika mendengar uang negara tersisa sia-sia. Memang unik, jika terbuang sia-sia juga kita menyayangkan tapi jika tidak terserap demikian.
Lantas, kalau memang tidak terserap secara maksimal. Untuk apa ditetapkan anggaran tahun berjalan, seketika berpikir mengapa APBD perlu disusun lagi pada tahun berjalan ketika di tahun sebelumnya program outputnya tetap sama dan pada akhirnya tidak terserap.
Disinilah perlu rasionalitas berpikir dan mengkalkulasi untuk bagaimana anggaran tersebut bisa terserap layaknya sebuah investasi bukan konsumerisme.
Sedangkan di sisi ini, penulis juga berpikir memang ada benarnya juga bahwa birokrasi terutama berkaitan penganggaran harus sedikitnya menganut sisi-sisi korporasi yang memang pakem dengan efisiensi karena berbasis untung rugi dan melihat pada potensi risiko serta nilai tambahnya.
Malahan ujungnya jurus 'mabok' keluar dengan kegiatan-kegiatan yang lantas jauh dari harapan penyerapan yang berbasis dengan bidang kerja pemerintahan yang perlu dituntaskan.
Sebagai contoh, simposium, sarasehan, rapat kerja, rapat koordinasi, rapat pleno dan juga diskusi publik. Sangat buang-buang waktu dan uang, ini juga salah. Kenapa kita tidak berinisiatif untuk memberantas itu?
Sedihnya, justru nominalnya diperbesar untuk kegiatan seperti itu yang realisasi atas dampaknya sama sekali abstrak. Mengapa demikian?
Maka demikian kreativitas juga perlu diasah bagi segenap kuasa pengguna dan pelaksana anggaran untuk melihat pada situasi dan kondisi anggaran perlu diserap.