Lihat ke Halaman Asli

Felix Sevanov Gilbert (FSG)

Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

Rusuh Perancis 2023 = France Spring, Macron Mundur?

Diperbarui: 3 Juli 2023   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Protes Masyarakat terhadap Polisi dan Pemerintah berujung Kerusuhan Juli 2023 (Sumber : Reuters)

Judul yang sangat tendensius, karena serangkaian situasi dan kondisi di negara terkuat di benua biru tersebut seakan menggemparkan dunia. Belum selesai kita melihat kondisi eksternal yang terjadi di Eropa yaitu perang Rusia-Ukraina yang sudah mengarah pada Perang Dunia Ketiga. Dimana akhirnya banyak judgement dengan beribu sanksi diberikan kepada Rusia yang notabene adalah 'provokator' namun ini juga menuai perdebatan karena perang yang tiada habis ini juga mengarah pada serangkaian manuver NATO dan juga Amerika Serikat guna menguasai dunia. 

Dunia yang sebenarnya belum kunjung membaik pasca Covid-19 namun dihantam oleh krisis multidimensi akibat perang ini. Malangnya, yang judgement pun dimana semua negara merupakan negara-negara terkenal kuat dan adikuasa di regionalnya malah berkutat pada segudang masalah yang menimpa dalam negerinya utamanya dalam konteks kemasyarakatan yang tidaklah stabil. Krisis yang terjadi semakin meluas bahkan bukan sekedar pada sektor ekonomi namun sudah saling berkorelasi dan mengakar, yang sulit untuk diatasi.

Perancis sebagai salah satu negara yang 'dituakan' dalam percaturan Eropa mengalami sebuah situasi serius dimana tahun 2023 ini saja sudah ada 2 kerusuhan yang sudah terjadi yaitu pada Februari-April 2023 dimana Pemerintahan Perancis dibawah Presiden Macron dan Perdana Menteri Borne merencanakan RUU Reformasi Dana Pensiun dimana salah poin yang ingin disampaikan adalah menaikkan usia pensiun pekerja dari 62 menjadi 64 tahun. 

Termasuk pula mekanisme pencairan dana pensiun, dimana hanya bisa dicairkan oleh Jamsostek-nya mereka ketika usia sudah mencapai pensiun (itupun tidak penuh, namun ada 1 tahun semacam masa percobaan sebelum akhirnya bisa cair). 

Tentunya hal ini sangat membangun reaksi yang sangat keras, meskipun sebenarnya Pemerintah Perancis sudah ancang-ancang hal ini sejak 2019 atau sebelum Pilpres Periode kedua lalu di 2022. Namun, baru terealisasi sekarang karna pasca Pandemi. Toh, Perancis juga sudah mengalami perlambatan ekonomi atau resesi sejak 2015 lalu dimana saat itu terjadi gejolak di Uni Eropa bahkan masalah global seperti perang dagang terhadap China yang gencar-gencarnya melakukan ekspansi OBOR (One Belt One Road)

Masalahnya klasik, karena semenjak Covid, PHK terjadi dimana-mana belum lagi biaya hidup yang tinggi akibat Lockdown akhirnya banyak yang mengajukan pencairan dana JHT mereka untuk menyambung hidup. Sehingga menjadi sebuah kewajaran yang terjadi ketika pada akhirnya Jamsostek-nya Perancis pun bisa kolaps, apalagi kalau situasi krisis mustahil dana pensiun yang diinvestasikan dapat menghasilkan alias gagal. Maklum kesalahan di tahun 70-80an ketika Perancis sedang mengalami booming ekonomi sehingga berhasil menjadi negara makin maju. 

Padahal kemajuan Perancis sebagian besar saat itu ditopang oleh pemberdayaan nasional industri-industri dalam negeri dari UMKM menjadi formal hingga mendunia sejak medio 50-60an yang berbuah 20 tahun selang. Malah mendorong generasi mudanya terbuai dalam zona nyaman (generasi tua dan menjelang tua sekarang) untuk jadi pegawai bukan pengusaha (lebih-lebih di Pemerintahan dan BUMN). Kalau Pemerintah dan BUMN sudah pasti dapat jaminan dari negara. Wajar saja saat itu Pemerintah ingin mengubah aturan main. 

Hal soal jaminan pensiun juga sebenarnya agak mirip dengan kejadian 2018, yaitu gerakan Gilets Jaunes atau rompi kuning yang kurang lebih sama mendorong adanya perhatian atas ketidakadilan dan kesenjangan soal sosial-ekonomi yaitu fokus pada kebijakan yang saat itu ingin dilakukan perkara kenaikan pajak BBM, Gas, dsb. Lagi-lagi semua berdasar kesalahan masa lampau yang terlalu 'royal' terhadap industralisasi kendaraan diesel dan bensin sehingga imbasnya ketika terjadi kenaikan harga minyak global dan demi rasionalisasi ke energi terbarukan belum lagi tuntutan ekonomi. 

Pemerintah mempertimbangkan kenaikan pajak BBM bahkan memberlakukan pajak karbon, sementara hal ini condong tidak rasional hanya menimbulkan ketimpangan kepada orang kaya sementara di pedesaan tentu bergejolak. Sehingga gerakan rompi kuning ini bergejolak di periode pertama Macron. Rompi kuning adalah simbol kesetaraan, yaitu punya keresahan sama sebagai pengguna kendaraan untuk sama-sama ingin keadilan. Rencana Pemerintah hanya membuat situasi runyam belum lagi korelasi dengan penghapusan pajak kekayaan bagi orang kaya menimbulkan gejolak bahwa Macron dan PMnya saat itu Philippe pro kepada globalis kaya. Karena otomatis kalangan marjinal akan semakin 'tercekik'.

Singkat cerita kedua aksi tersebut mulai yang terjadi di periode pertama maupun kedua sudah ada 'peredam'nya. Apa? Ketika di periode pertama, singkat cerita ketika aksi rompi kuning membesar dan mengundang simpatik oposan dimana banyak supir dan buruh utamanya dari kawasan pinggiran dan desa sudah mulai rada merusuh. Pemerintah melakukan penundaan kenaikan pajak bahan bakar, pengumuman paket stimulus ekonomi, dan dialog dengan para perwakilan gerakan. Meskipun gerakan ini telah mengalami penurunan aktivitas dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh dan dampaknya tetap relevan dalam perdebatan sosial dan politik di Prancis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline