Jujur demokrasi yang berjalan saat ini dimana terkesan 'kurang nendang' daripada masa SBY bahkan seolah Pemerintahan Jokowi saat ini cenderung kuat ya termasuk karena lemahnya legitimasi Oposisi dalam menjadi penekan (pressure) dalam konsolidasi kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Disisi lain kestabilan akan tercapai karena narasi garang akan sulit diterima mengingat komposisi para oposan yang condong lebih sedikit. Sementara yang menjadi salah karena Oposisi yang bukan soal tidak cerdas dalam kualitas namun bisa saja sudah kalah duluan dan 'main aman' karena kekuatan yang tidak mengimbangi.
Seperti kita ketahui bahwa komposisi Oposisi yang sekarang sudah makin menggerus. Kalau di periode pertama masih ada Gerindra, kini tinggal PKS dan Demokrat. Kalau PAN tak masuk hitungan karena di periode pertama dan kedua sekalipun Pilpres 2019 berlawanan dengan Jokowi tapi masih ada tempat dia cicipi Kabinet.
Kurang lebih (ini angka pembulatan ya). Jika di 2014-2019 lalu Oposisi rada kuat karena ada Gerindra yang kuat di Parlemen dengan posisi ketiga after 'kejatuhan' Demokrat dengan suara sebesar +/- 12 persen, sementara saat itu di periode pertama Jokowi ada PKS sebagai teman sejati dimana jika di periode SBY, Gerindra sebagai Oposan dan PKS sebagai pemerintah namun akhirnya menemani untuk kontra Jokowi.
Suara PKS adalah +/- 6 persen di peringkat 7. Namun karena UU MD3 buatan 2014 itu AKD termasuk pimpinan ditentukan koalisi dan saat itu diawal Jokowi sebelum konsolidasi menaklukan Golkar, PPP dan PAN saat itu Oposisi atau Koalisi Merah Putih yang berkuasa.
Maka demikian, PKS bisa 'cicip' Pimpinan Dewan. Kalau Demokrat, anggaplah walau mereka abstain di 2014 tapi dihitung Oposisi misalkan. Saat itu suara mereka sudah di posisi kelima dengan +/- 10 persen. Kurang lebih ketiga partai masih menghasilkan 30 persen ya rada lumayan lah diatas 25 persen meski agak rumit juga. Tapi sedikitnya ada taji di periode pertama. Lantas bagaimana dengan periode kedua?
Ini yang membuat Oposisi makin tidak bertaji dimana sejak Gerindra yang naik ke peringkat kedua dengan suara +/- 13 persen demikian pula dengan bergabungnya Prabowo sebagai 'Leader of Opposition' yang sebelumnya memimpin 30 persen tersebut di 2014, kini bersatu bersama Jokowi dalam kabinet sebagai Menteri.
Sementara suara Partai Oposisi yang tersisa yaitu Demokrat dan PKS juga fluktuatif apalagi Demokrat yang dahulu sempat bertengger di Pemerintah sekarang semakin 'gurem' bahkan lebih parahnya sudah disalip oleh PKS yang notabene hanya 'ngekor' saja di masa SBY sebagai anggota koalisi.
Kini sudah sampai naik walau sedikit menjadi 8 persenan dengan posisi yang naik di peringkat 6 sementara Demokrat sendiri sebaliknya ke posisi PKS sebelumnya yaitu 7. Otomatis jika ditambah hanya setengahnya saja alias 15 persen suara Oposisi yang berada di Parlemen.
Sebagai Leadernya yaitu PKS, sementara PKS sendiri karena belum pernah sejarahnya memimpin dalam konteks sebagai Presiden (cuma partainya saja dipimpin oleh Presiden yaitu Presiden PKS) belum lagi secara kualitas dan kuantitas tidak sepenuhnya teruji karena hanya pernah memimpin di beberapa daerah itu saja minim prestasi. Kalau di Nasional sangat lemah sehingga secara logistik juga tidak lebih kuat.