Lihat ke Halaman Asli

Felix Sevanov Gilbert (FSG)

Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

Gegara Pildun U-20 Batal, Ganjar Hilang Arah, Prabowo-Erick Jadi Harapan?

Diperbarui: 30 Maret 2023   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prabowo Subianto bersama Erick Thohir (Foto by Instagram Erick Thohir @erickthohir)

Sedih bahkan tidak bisa terungkap dengan untaian kata bicara harapan anak bangsa yang ‘terjajah’ oleh kepentingan politik yang semu dan justru tiada bermanfaat. Entah bagaimana harus diungkap dan ini juga berpengaruh pada ‘bursa’ politik yang akan suram kedepannya. Apalagi kita tahu bahwa pecinta sepakbola mayoritas ialah generasi muda alias pemilih pemula dan sama-sama kita tahu bahwa di Pemilu 2024, mereka yang akan jadi KingMaker sebagai efek dari bonus demografi. 

Anak muda memang awam tapi mereka juga kritis jika ada sesuatu yang dirasa merusak kepercayaan mereka akan lantang bersuara nyatakan mosi tidak percaya. Situasi kebatinannya jelas, terutama anak muda yang selama ini hadir sebagai ‘swing voters’ dimana mereka menentukan pilihan murni dari hati dan berlaku secara irisan dan memperkuat siapa yang lebih baik diantara yang terburuk. Mereka bukan mengatasnamakan elemen atau representasi politik berasal dari golongan mana namun mereka langsung tentukan pilihan di ‘last minute’. 

Kalau di survey mereka dikategorikan sebagai sosok yang ragu-ragu bukan golput namun lebih berusaha obyektif. Namun, jika begini caranya justru tingkat golput akan semakin tinggi. Justru ini yang dikhawatirkan merusak agenda demokrasi kita. Bayangkan 15-20 persen potensi ‘swing voters’ dan ‘undecided voters’ tersebut. Mereka gandrung akan harapan tapi kalau memang para politisi justru menjatuhkan harapan apalagi yang muncul saat ini di kalangan ‘swing voters’ kecenderungan mereka akan melihat pada preferensi pemimpin yang menjabat sekarang akan malah terkalibrasi lagi. 

To the point saja, banyak pemilih yang sebenarnya masih ‘wait and see’ dan realistis bahwa pilihan Jokowi adalah lebih pasti dan Jokowi digambarkan akan mendekat ke Ganjar. Kurang lebih sekitar 10-12 persen pemilih yang mayoritas ialah pemula. Dengan adanya fenomena ini lantas mereka mengganti pilihan mereka kepada Capres lain dan kini masih wait n see lagi. Pertimbangan kritis mereka makin terasah karena fenomena, tidak terkecuali pada politisi yang justru malah makin kolot dalam bersikap. Tidak terkecuali untuk bisa membedakan konteks politik dengan kompetisi olahraga. 

Kalau untuk figur mungkin mereka masih bisa melihat namun perkara partai sepertinya mereka ‘rada’ bingung mengingat semua partai apalagi yang memiliki kursi di Parlemen nyatanya sama saja. Sehingga perlu narasi yang presisi, sesuatu yang menjadi pembaharu. Kalau memang Presiden Jokowi bisa menjadi patokan, apalagi sikapnya yang justru berbeda dengan partai PDIP dan 2 kader yang sebenarnya juga masih berupaya dalam kontestasi elektoral. 

Seperti Gubernur Bali, I Wayan Koster yang ‘wait n see’ akan rekomendasi Megawati untuk maju di Pilgub 2024, berikut juga Ganjar Pranowo yang masih bertaruh nama untuk segera diusul maju sebagai kontestan Pilpres 2024. Joko Widodo justru menegaskan bahwa ‘Politik jangan campur dengan Olahraga’ dan tegas merespon fenomena ini dengan mengutus Ketum PSSI, Erick Thohir untuk engage komunikasi dengan Presiden FIFA. Tapi harapan pupus bahwa kita gagal jadi tuan rumah.

Situasinya memang menggugah emosional, kekalutan bukan hanya dirasa pecinta sepakbola tapi seluruh masyarakat Indonesia. Bayangkan ini dampaknya multidimensional lho bahkan sampai ke lanskap ekonomi secara mikro, bukan hanya secara makro perkara infrastruktur pembangunan atau industri olahraga yang bertransformasi menjadi Sport Tourism. Namun ekonomi mikro misalkan para pedagang kecil UMKM yang menjual merchandise dan jersey sepakbola. Seolah dunia politik tidak berpihak pada rakyat, kekuasaan hanya dipakai untuk lebih menekankan pada romantisme terhadap ideologi tertentu. 

Sedih memang, endingnya bahwa politisi sibuk membela negara lain sampai korbankan negara sendiri. Sudah terlihat partai mana yang bersikap blunder mirisnya bukan hanya PKS saja yang notabene sudah tegas bersikap bahwa mereka boikot Israel namun PAN dan PPP juga ikut bahkan Penguasa seperti PDIP ditandai 2 kadernya yang sembrono tersebut bukan sekedar politisi di Senayan saja begitu. 

Jadi secara mudahnya, sepertinya suara para pecinta sepakbola menjadi ‘ngambang’ kemana harus mempercayakan siapa yang bisa jadi pemimpin di masa datang. Utamanya jika para pecinta sepakbola tersebut terafiliasi dengan politik Jokowi (alias pendukung atau mempercayakan pilihan pada koalisi Jokowi). Bukan tidak mungkin bahwa mereka akan berubah ke Prabowo Subianto. Mengapa tidak? 

Kemungkinan memang sangat dinamis dan kalau bukan Ganjar memang Prabowo yang kuat. Apalagi duet Prabowo-Ganjar sudah disambut baik oleh publik tak terkecuali para pecinta sepakbola tersebut namun sirna gegara Ganjar yang blunder. Saya yakin, dari pihak Gerindra juga akan pertimbang ulang untuk bicara soal Ganjar. Tidak terkecuali Hashim Djojohadikusumo sang adik Prabowo yang memang getol perjuangkan Prabowo. Sentuhan yang ditampilkan bisa jadi akan berbeda. Kalau memang Hashim juga tidak mau dari orang partai yang sekoalisi seperti Muhaimin bisa jadi memang Hashim melihat sosok selain Ganjar yang mumpuni atau kalau boleh diluar entitas partai. Namanya juga menjawab tantangan bahwa politik harus profesional. Memang supaya seimbang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline