Pemerintah melalui Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang meninjau lokasi terjadi nya kebakaran yang tiba-tiba pada Jumat (3/3/2023) lalu akhirnya membuka kembali pertimbangan bahwa sebaiknya Pemerintah segera merelokasi Depo Pertamina yang sudah terbangun sejak 1974 ini. Wacana untuk memindahkan Depo Pertamina ini bukan sekali terjadi, kurang lebih muncul setelah lebih dari sekali pula insiden kebakaran yang selalu memakan korban jiwa tersebut terjadi. Terakhir di 2009 yang mana saat itu terjadi di akhir pekan meski bukan musim penghujan namun saat itu membuat gempar apalagi yang mengherankan letak dari Depo Plumpang tersebut berada tidak wajar yaitu dikelilingi dan mepet oleh permukiman padat yang sejatinya adalah lahan mereka namun statusnya sengketa karena pemilik merasa punya hak padahal sejak tahun 2000 Pemerintah sudah berencana merelokasi berlanjut lagi di 2004 pada masa Pemerintahan Presiden SBY bahkan Gubernur DKI saat itu Sutiyoso untuk membangun hunian pengganti kepada masyarakat yang umumnya adalah pendatang tersebut. Lalu terjadilah insiden besar di 2009, insiden yang tak terharapkan namun rentan terjadi dimana jelas sekali buffer zone alias daerah kosong yang sejatinya steril namun diduduki oleh permukiman memperparah kondisi kebakaran tersebut. Bagaimana tidak, jelas sekali manakala api muncul dari instalasi yang bocor dan terbakar bisa menimbulkan radiasi yang muncul dari pancaran barang-barang elektronik yang berada di kawasan rumah tangga otomatis api seakan menggelegar dan terlihat seperti ledakan besar sekalipun dimulai dari api yang sangat kecil persis seperti yang terjadi di tahun ini pula. Memang masih dalam proses investigasi baik dari Kepolisian maupun Pertamina sesuai dengan arahan Presiden. Kejadian yang sangat memilukan memang, dan dugaan hipotesanya masih diakibatkan oleh faktor alam yaitu memang hujan besar yang terjadi di malam hari petir menggelegar pula yang akhirnya menyambar kawasan ranting daun dan juga pipa yang seketika bocor dalam proses pengisian minyak Pertamax untuk segera disalurkan. Singkat cerita kebakaran membesar dan juga merusak permukiman yang terdapat didalamnya. Pertamina merespons hal tersebut dan sudah klaim SOP mereka terutama terkait dengan perlindungan bencana seperti petir sudah berjalan namun takdir tidak bisa dilawan dan barangkali ada dugaan lain yang masih perlu didalami. Mitigasi dan Manajemen dalam tatakelola rutin juga harus diawasi, ada sinyal bahwa tidak menutup kemungkinan tempat lain juga rentan. Memang membahayakan, belum lagi posisi Depo yang memang tidak layak dikarenakan sudah dikelilingi penduduk bahkan mirisnya pipa jaringan minyak yang ada berbaur dengan kawasan permukiman yang tumbuh kembali di kawasan Tanah Merah, dimana kawasan tersebut flashback 2009 pernah hancur dan mereka direlokasi oleh Gubernur Fauzi Bowo. Namun apa daya, mereka kembali bahkan memperparah lagi dengan membawa banyak serta keluarga mereka sehingga ibarat kata tambah sumpek lah.
Bisa dibayangkan gambaran dilematisnya. Standar ideal untuk kawasan Objek Vital Nasional seperti Depo Pertamina apalagi ini Terminal Depo besar yang Terpadu dan melayani 25 persen kebutuhan Nasional yang mana posisinya berada di Ibukota Negara. Bisa terbayang lagi apabila hal ini terjadi, kondisi scarcity alias kelangkaan dikhawatirkan terjadi dan semoga saja Pertamina bisa memitigasinya karena hal ini menuai tanda tanya seberapa serius 'Pelat Merah' yang katanya Kelas Dunia tersebut terkesan lengah sekalipun katanya kuat untuk mengelola Depo dan Instalasi Migas mereka. Sementara dalam hal kecil yaitu Standarisasi Zonasi yang mana Buffer Zone saja mereka lalai dan tidak ada usaha serius untuk memindahkan. Seolah mereka tidak berpikir panjang padahal ini perkara hajat hidup orang banyak. Berbahaya bukan? Menurut opini pribadi, mereka terkesan serampangan bahkan kompromistik soal ini. Berkaca dengan kasus di Balongan bahwa radius 1 km saja masih terdampak parah padahal memang sudah relatif jauh tapi membahayakan. Lantas idealnya berapa? Kalau di negara-negara utamanya negara maju mereka sudah ada barisan pengamanan yang cukup serius bahkan institusi Pemerintah seperti Militer pun bisa saja berlaku karena perkara keamanan dan kestabilan Nasional. Mereka serius memastikan instalasi migas yang vitalnya terjaga dengan baik dengan buffer zone hingga 3 km. Bukan malah 1 km bahkan kurang, lebih-lebih diberi IMB dan ditata, itu kan make sense dan sarat akan politisasi. Padahal keselamatan tidak butuh politisasi namun rasionalisasi dari pemangku kepentingan. Secara logika, segala bentuk potensi indikasi ancaman maupun gangguan memang harus direspons dengan serius. Pertamina memang hanya Badan Usaha namun mereka Usaha Esensial so pasti pengamanannya juga perlu serius. Kalau berkaca negara lain, jangankan membangun sebuah bangunan untuk tinggal, kita lewat sedikit jika sembarang maka akan ditindak tegas oleh instansi penegak hukum. Bukan Polisi, apalagi Satpam dan Pol PP melainkan Militer karena dicap bisa mengganggu kedaulatan dan condong instabilisasi. Maka demikian, satu hal pertama bahwa relokasi permukiman juga sangat urgent, toh sudah pernah direlokasi apalagi ini pendatang. Maka demikian langkah pertama dan utama yang musti dilakukan sama Pertamina adalah selain memastikan santunan atas kecelakaan yang terjadi mereka juga musti direlokasi dengan maksud bahwa keselamatan adalah terutama bahkan perlu ada sanksi yang tegas apabila mengulangi. Padahal hunian itu ada. Apa kurang? Rusun sudah ada dibangun Pemerintah atas perintah Presiden saat itu yaitu SBY dan Wakilnya JK yaitu di 2009, di kawasan Koja namun apa daya mereka balik. Apa tidak sebaiknya ditambah lagi kalau mereka kurang? Why not? Ratusan KK harus diedukasi karena jika tidak ratusan KK akan menjadi 'dosa' jika dibiarkan rentan akan ancaman.
Lantas muncul lagi usul dari Rapat Wapres bersama jajaran tim bahwa perlu dipindahkan Depo Terminal Terpadu Plumpang tersebut. Apakah ini usul semata-mata datang saat ini? Usul ini dikemukakan pada 2009 lalu yang mana Ketua DPR saat itu Agung Laksono meminta kepada Pertamina segera memindahkan Depo Plumpang ke dekat Pelabuhan tepatnya di Marunda yang mana hal ini terjadi pasca kebakaran pertama dan khawatir bahwa ada sabotase sehingga asumsinya apabila dibangun dekat Pelabuhan maka akan ada pengawasan ekstra dari Militer yaitu TNI AL dan ancaman dari luar negeri bisa segera diantispasi secara intensif. Integrated Terminal Jakarta atau Depo Pertamina Plumpang dinilai sebagai terminal BBM terpenting di Indonesia. Hal ini karena Depo tersebut menyuplai sekitar 20 persen kebutuhan BBM harian di Indonesia atau sekitar 25 persen dari total SPBU Pertamina. Selain itu, Thruput (kapasitas aliran) BBM rata rata sebesar 16.504 Kiloliter per hari dan wilayah distribusi utamanya meliputi Jabodetabek. Kondisi demikian mengakibatkan urgensi pemindahan itu muncul selain audit investigasi yang menyeluruh baik sumber daya manusia maupun prasarana teknologi dalam melaksanakan SOPnya. Hal ini menyasar pada upaya perbaikan atau revitalisasi yang perlu dilakukan seperti yang dikatakan oleh Ketua Komisi VII DPR RI yaitu Sugeng Suparwoto dimana harapannya instalasi Migas Plumpang selain dipindah juga diganti agar menyesuaikan dengan kondisi perubahan iklim selain usia yang rentan akan kebocoran dan membahayakan. Standar keamanan variabelnya musti ditingkatkan dan audit berkala perlu dengan pihak terkait karena ini perkara hajat hidup orang banyak. Hal ini juga senada kalau perlu usul pemindahan jauh sekalian selain aksesnya juga perlu disterilkan karena masih banyak pipa minyak yang berantakan dan rentan membahayakan jika ada pancaran ledakan menurut Andre Rosiade, Anggota Komisi VI bahwa kalau perlu Depo Integrasi atau Terminal pindah ke New Priok alias bukan di daratan, toh terkait jalur transportasi selain bisa diakses dengan tol layang ke titik-titik SPBU juga masih di DKI karena orientasinya adalah mayoritas melayani Provinsi DKI Jakarta sebagai Pusat Bisnis alias tak mungkin pindah jauh. Plumpang hanya sebagai Pipa-Pipanya saja ibarat PLN ada Pembangkit, ada Trafo atau Gardu Induk dan Menara SUTT yang mana Plumpang hanya tinggal Pipa Pertamina alias SUTTnya saja yang sebenernya hanya sebagai cadangan saja untuk menaruh minyak plus memang tetap steril makanya penduduk juga tetap direlokasi sekalipun Depo dipindah. Hal ini dalam rapat darurat yang dipimpin Wapres. Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan bahwa SOP juga memang harus dievaluasi dan ditingkatkan sebenarnya kondisi rentan bukan hanya terjadi di Pertamina tapi PLN dan BUMN lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Jadi diwanti-wanti dampak secara insidental maupun berkelanjutannya seperti apa. Jadi kompleksitasnya juga mengarah pada penegakan hukum berbasis tata ruangnya dimana zonasi antara buffer zone harus ditegakkan kalau perlu lebih tegas lagi dan ditata kembali supaya menyesuaikan dengan pertumbuhan penduduk lumrahnya sebuah Kota apalagi Ibukota Metropolitan seperti Jakarta.
Semoga saja ada solusi yang efektif dan efisien terkait dengan case ini. Turut berduka cita, semoga saja keluarta ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan hadapi Musibah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H