Hari Lahir Nahdlatul Ulama dalam perspektif politik merupakan fenomena yang luar biasa sekalipun Nahdlatul Ulama tidak memposisikan diri untuk berpolitik secara praktis. Hal ini tegas disampaikan oleh Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf dalam berbagai kesempatan guna menegaskan bahwa NU harus membumi dan terus membawa pesan damai dalam kontestasi guna mengurangi sekat polarisasi di tengah masyarakat yang masih saja menimbulkan 'residu'.
Usaha Nahdliyin memang terlihat manakala Seabad Nahdliyin yang berlangsung di Sidoarjo, Jawa Timur dan dihadiri oleh Presiden jajaran berbaur bersama jutaan umat dari seluruh Indonesia guna memeriahkan momentum yang takkan pernah terlupa.
Organisasi Keagamaan tertua dan terbesar di Bumi Pertiwi ini genap memasuki abad ke 2. Abad ke 2 merupakan sebuah perjalanan panjang dan harus patut disyukuri bahwa setiap perjuangan dan amal usaha NU berhasil menjadi pemersatu atas segala konsensus bangsa. Sama halnya dengan Muhammadiyah yang lebih tua. NU berperan diluar pemerintahan sebagai organisasi non politik. Namun mereka siap apabila di setiap lini Pemerintahan, putra-putra terbaiknya yang tersebar dalam organisasi politik maupun non politik siap untuk mengabdi manakala Merah Putih Memanggil.
Hal ini sejalan dengan prinsip 'Hubbul Wathon Minal Iman' yang berarti bahwa Mencintai Tanah Air adalah sebagian dari Keimanan. Bilamana siap mengabdi untuk Merah Putih dalam berbagai posisi dan berupaya untuk melakukan yang terbaik, tentu dipandang sebagai upaya meningkatkan keimanan. Ibaratnya, Nahdliyin juga Nasionalis dimana mereka bukan memisahkan sekat Agama dengan Kebangsaan melainkan dirawat dan dipersatukan sehingga saling melengkapi.
Sejak zaman Merdeka memang Nahdliyin sudah sangat eksis dalam percaturan kehidupan kebangsaan termasuk dalam kehidupan berpolitik. Baik mereka berperan sebagai bagian dari Pemerintah maupun secara ekstraparlementer yang berfungsi pada tatanan semak dan imbang dalam sebuah kehidupan politik.
Semua dilaksanakan dengan semangat moderasi, semangat untuk saling menepikan bentuk persaingan dan menengahkannya kedalam semangat keindahan sebuah perbedaan menjadi kekuatan yang melengkapi. Begitu juga dalam politik yang selalu mereka tanamkan bahwa pesan perdamaian ditengah perbedaan harus terus digaungkan.
Satu hal yang menarik ketika Harlah NU berlangsung pada 7 Februari 2023 ini. Presiden serta merta membawa segenap rombongan Menterinya untuk ikut serta dalam syahdu dan semaraknya peringatan bersama jutaan rakyat yang mengalu-alukan semangat kebangkitan. Kebangkitan dalam arti bahwa NU sudah siap dan matang untuk menghadapi perjuangan yang lebih jauh, yaitu mengawal Indonesia yang semakin berkepribadian dan berkemajuan.
Menteri dari lintas partai berbaur pula dengan tokoh Nasional lain yang juga lintas partai, terlepas dia berpihak sebagai koalisi maupun oposisi semua dipersatukan dalam damainya gegap gempita Seabad NU. Seolah apa yang diucap oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari adalah benar. Seperti seolah berubah, ketika rakyat melihat hangatnya suhu politik melalui isu dan narasi yang muncul di kalangan politisi. Memang hal ini membosankan tapi itulah demokrasi dimana semua bebas berbicara dan bebas untuk berstrategi baik menaikkan pamor maupun menjatuhkan pamor yang lain.
Tapi seolah semua beda, bahwa jika masuk dalam hawa-nya Nahdliyin maka demikian jiwa raganya pun juga tergerak pada kecintaan dan kerukunan serta saling mengasihi satu sama lain. Terlihat dari keasyikan tiap tokoh-tokoh bangsa, para negarawan yang saling antusias mengikuti acara. Memang acara ini merupakan katalisnya. Sesuai juga dengan sikap bahwa Nahdiliyin terbuka dengan siapa saja, seolah menyejukkan tiap partai yang sekarang sudah terpecah dalam berbagai koalisi.
Namun hal menarik ini ada yang lebih menarik ketika justru ditengah persatuan setiap perbedaan warna partai ada persatuan pilihan Presiden, yaitu teriakan yang lebih menggema manakala sosok Prabowo Subianto yang sekalipun dia Ketua Umum Gerindra, tapi memposisikan diri sebagai anggota Kabinet Indonesia Maju. Hanya saja, sikap dia direspon dengan sangat berbeda ketika rakyat NU terlepas konstituen dari partai mana saja mereka seirama untuk melantangkan Prabowo sebagai Presidennya, Presiden yang akan datang.
Lantas isyaratnya apa? Saya pun tak tahu pasti. Bendera partai boleh beragam namun bendera Presiden seia sekata kepada sosok Menteri Pertahanan ini. Apa karena kebesaran jiwa sang Jenderal dan berhasil menjadi konsensus pemersatu bangsa? Boleh juga, bisa iya dan bisa tidak.