Lihat ke Halaman Asli

Felix Sevanov Gilbert (FSG)

Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

Pileg dengan Sistem Distrik, Alternatif Demokrasi?

Diperbarui: 7 Februari 2023   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peta sebaran Dapil/Distrik Pemilu di Inggris 2019. (Foto by Worldmapper.org)

Lagi heboh ketika pagi-pagi membaca berita di koran. Kisruh di kalangan parlemen antara Partai penguasa yaitu PDIP kontra 8 partai lainnya tentang Sistem Pemilu yang tepat. Sebenarnya kedua usul yang dibentangkan oleh masing-masing kelompok sama proporsional. Dimana kalau yang saya pahami sebagai lulusan ilmu politik, setiap Dapil pasti punya lebih dari 1 perwakilan dan lebih dari 1 parpol mendudukinya. Kalau istilah inggrisnya PR (Proportional Representative). Bedanya open list party atau close list party. PDIP inginkan balik ke Proporsional Tertutup alias Close list dimana masyarakat hanya disodorkan Partainya saja dalam kertas suara, begitu partai tersebut menang paling tidak meraih suara mayoritas secara popular vote maka akan ditentukan siapa wakil yang akan duduk disitu. Jelas tidak transparan bukan, disisi lain sistem yang terbuka (open list) ini justru malah terlalu liberalistik karena hanya melihat figur dan tentunya sarat akan kepentingan bisnis (bacanya : politik uang) karena hanya calon kaya yang bisa raup banyak suara makanya tahun ke tahun selain pengusaha hampir jarang elemen masyarakat lain bisa tampil.

Pusing sih mikirnya, di kalangan yang mendukung alasan open list dipertahankan jelas sekali supaya mendekatkan figur dan supaya masyarakat lebih obyektif melihat sosok yang juga lebih dikenali bukan sekedar partainya juga. Ibarat kata, dahulu close list populer di zaman Orba yaitu orang cuma disodori partai (mungkin saja karena banyak juga masyarakat buta huruf jadi simbolnya saja disodorkan) ya pada akhirnya begitu orang tahu simbol tersebut familiar ya langsung dicoblos. Urusan nanti yang akan menduduki kursi merepresentasikan Dapil tersebut belakangan diserahkan ke Parpol. Tapi ini beda zaman bung, rakyat sekarang rasional apalagi kalangan milenial dan mereka juga obyektif melihat jangan sekedar partainya saja tapi sosok di partai tersebut bisa amanah atau tidak. Sejak 2009, kita tahu bahwa open list memberi keleluasaan tapi kekurangannya juga banyak. Setelah berpikir, kenapa kita tidak mencoba saja sistem distrik alias majoritarian/plurality system yang katanya sudah modern dan justru mendorong daya saing antara masing-masing calon untuk menjadi perwakilan dan meraih suara mayoritas makanya dibilang juga FPTP (First Past The Post), seperti pemilihan eksekutif saja. 

Tapi, Indonesia kan merupakan negara multipartai dan negara presidensial. Terus bagaimana mengakalinya? Bagaimana sisi demokratisnya? Oke yang membuatnya demokratis juga adalah siapapun berhak untuk mencalonkan jadi bukan hanya DPD saja sehingga tidak menutup kemungkinan independen juga bisa mencalonkan dan tidak menutup kemungkinan partai yang tidak lolos threshold secara Nasional juga bisa duduk di Parlemen. Patokannya darimana? Selama yang bersangkutan bertanding dan akhirnya mendapat suara mayoritas 50 persen plus 1. Liberal lagi sistemnya, terus terang kalau mau ikuti sistem Demokrasi ala Indonesia yaitu Pancasila memang tidak sepenuhnya Demokratis. Bisa diingat analoginya bahwa Demokrasi dan Konstitusi bahkan Ideologi tidak saling berdampingan bahkan nilainya tidak tentu berdampingan namun paling tidak bisa dicoba sebagai solusi Demokrasi modern yang cerdas. Dan setidaknya anggota tidak seakan berbagi kursi dengan seenaknya begitu saja, kurang lebih jatuhnya hampir semua partai yang bertanding kebagian. Kan malah jauh daripada fungsi representasi atas masyarakatnya dan membingungkan, namanya juga proporsional alias tiap kelompok pasti amankan saja 1 kursi kalau suaranya besar lebih dari 1 dimana disiapkan 8 kursi paling tidak peringkat 1 dan 2 punya 2 kursi sisanya masing-masing berbagi 1 kursi. 

Cara mengakali banyaknya partai bagaimana? Menurut saya sih, adalah mengikut koalisi Presiden mengingat pastinya Pilpres dan Pileg akan berdampingan. Misalkan ada 3 Paslon otomatis 3 koalisi Partai dan tentunya tiap partai dalam koalisi akan berbagi jatah kursi yang bertanding. Daripada ujungnya malah mereduksi jadi dwipartisan. Misalkan sekarang ada 3 Koalisi : Perubahan yaitu PKS, Nasdem, Demokrat kemudian Indonesia Bersatu yaitu PAN, Golkar, PPP kemudian Indonesia Raya yaitu Gerindra dan PKB (andaikata PDIP masuk berarti ada didalamnya). Partai koalisi pegang bendera koalisinya sedangkan Partai diluar itu (misalkan non parlemen atau partai baru) akan tetap pegang bendera partainya mewakili Partainya. Atau juga seperti kasus Aceh Partai di Aceh juga akan memiliki representasi di Pusat tidak hanya DPRD saja, selama dia menang di kursi DPR RI. Sama Independen, mengapa independen bisa juga? Karena jadi patokan adalah suara dapil, selama dia pegang sekian ribu KTP mewakili 10 persen penduduk (seperti pemilihan di Eksekutif) dia berhak maju dan berhak menang. Terkesan adil bukan? Kalau dalam koalisi bagaimana memperhitungkannya? Dalam koalisi akan ada open bidding dari tiap partai mana yang akan mewakili sebuah Dapil dan itu berhitung pada kajian secara geografis dan demografis.

Selanjutnya apa lagi konsekuensinya? Analisa saya karena ini memperebutkan Dapil dan one man one vote maka jumlah Dapil akan disesuaikan, yang menurut saya secara kasar untuk DPR RI akan mengikut jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia jadi bukan seperti sekarang Jabar 1, Jatim 3, Sulsel 2, melainkan Kotanya alias sama seperti Pilkada saja yaitu Dapil Bekasi Kota, Dapil Tangerang Selatan atau Dapil Medan direbut calon berbagai penjuru. Mengikut juga di DPRD misal Provinsi berarti Dapilnya nama Kecamatan atau Kota/Kabupaten berarti Kelurahannya. Berarti kursi DPR yang ditandingkan ada 514 kursi sedangkan DPRD semisal DKI ada 44 Dapil (Kecamatan) dan seperti di Kota yaitu Kota Bekasi ada 56 kursi (Kelurahan). Kembali lagi secara kajian demografis-geografis ini juga akan menantang. Semisal di suatu Kota atau Kecamatan atau Kelurahan adalah basis Nasionalis dan Religius (ideologi saja dulu ya, belum nanti ada faktor seperti agama, suku, hingga pertimbangan pendidikan dan usia). 

Contoh saja semisal di Jombang Jatim adalah basisnya Nahdliyin atau basis Religius. KIB akan sodorkan calon dari PPP yang mana sulit Golkar untuk kuasai, sementara KIR akan sodorkan calon PKB sedangkan dari Perubahan bisa saja dari PKS namun tidak menutup kemungkinan pertimbangan lain semisal PKS dan Nahdiyin kurang sreg maka Partai Nasionalis seperti Nasdem akan berikan calon yang mana kembali musti kader Nahdliyin juga (Agamis). Seperti di Kabupaten Bogor yang konservatif sudah pasti KIR akan sodorkan calon Gerindra, pertimbangan historis akan menimpali agak mirip dengan Solo yang dengan PDIP. Disinilah Wawasan Nusantara partai akan diasah, bukan sekedar nentukan partainya tapi representasi golongannya juga. Menarik bukan?

Semua tergantung pada kepentingan wakil kita di Senayan pertimbangkan model begini. Apalagi tidak menutup kemungkinan musti ubah UUD juga akomodirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline