Menjelang Pesta Demokrasi yang tinggal setahun lagi. Waktu yang seakan tidak terasa ditengah dinamika yang terjadi dalam pemerintahan negara ini.
Itu seolah partai-partai sedang bermain posisi bahkan sudah pasang 'kuda-kuda' untuk mempertahankan maupun mengambil 'ladang baru' dalam kontestasi politik.
Pada masa yang kaya akan bonus demografi seperti ini sejatinya politik juga musti semakin cerdas dan matang.
Politik itu sejatinya berbicara soal kebenaran, soal bagaimana memikirkan solusi dan juga memikirkan bagaimana eksistensi sebuah bangsa dan negara agar kedepannya lebih baik.
Hanya saja, yang menjadi masalah, belum selesai dengan perkara politik identitas dimana seringkali banyak tokoh atau elemen politik selalu menggaungkan bahwa dominasinya ialah yang benar dan kuat.
Bahkan narasi itu sudah mengarah pada 'personally' seseorang tentang status yang sudah melekat. Sementara negara kita dibangun atas keberagaman yang sejatinya musti bersatu.
Kini isu politik sudah mengarah pada populisme dimana kadarnya sudah over dan menghilangkan akal sehat ditengah rendahnya literasi bangsa tentang memahami sesuatu dinamika yang dirasa perlu sebuah kematangan, seperti politik.
Populisme dalam politik memang tidak salah, isu-isu yang sangat membantu dan menarik hati rakyat tidak salah karena semua bisa jadi muncul karena inisiatif kepedulian seseorang untuk murni membantu.
Namun kadang populisme yang terlalu over bisa berlebihan bahkan seolah tidak sehat. Seperti timbulnya narasi langit bahkan dari sebuah partai besar tentang isu yang sangat 'impossible' namun memang bisa menjual.
Sebagai contoh, SIM seumur hidup dan pajak motor dihapus dan baru saja ada janji sebuah partai tentang listrik dan pupuk gratis bagi petani sampai pada usul bahwa menghapus jabatan Gubernur.