Sedih rasanya mendengar di era digital seperti ini, masih ditemui masyarakat khususnya di usia muda dan produktif yang buta aksara alias sama sekali tidak bisa membaca maupun menulis.
Saya lantas mengira dengan gencarnya Pemerintah dengan mandatory spending 20 persennya yaitu mewujudkan wajib belajar 12 tahun kemudian Merdeka Belajar tapi kok masih ada saja masyarakat yang buta aksara.
Kalau buta terhadap digital alias literasi digital yang rendah saja menurut saya sudah menjadi penyakit yang menghambat sumber daya yang mumpuni menghadapi persaingan global, apalagi yang sama sekali memang tidak bisa membaca maupun menulis.
Rasanya, seolah negara memiliki 'dosa besar' yaitu tidak bisa menjamin masyarakatnya khususnya di generasi muda untuk bisa terakses pendidikan minimal calistung atau calis saja yaitu bisa membaca dan juga menulis.
Apalagi sejak 2015 kita sudah mengalami yang namanya bonus demografi alias generasi muda atau usia produktif yang bertambah mendominasi populasi sekarang ini dan puncaknya di 2033 nanti generasi muda seolah menguasai semua aspek yang ada, ibarat kata sudah 'over' dan apabila tidak dimaintenance dengan sebaik-baiknya alias seperti sekarang boro-boro literasinya ditingkatkan, minimal bisa membaca dan menulis saja tidak sama sekali.
Apa kata dunia?
Namun itulah kenyataan pahit yang dialami negara sebesar Indonesia sekarang ini. Sebenarnya bukan patut menyalahkan, namun kembali lagi bahwa ini PR besar yang harus ditopang secara bersama.
Terus terang ini menjadi tanggungjawab bersama mulai dari keluarga dan lingkungan sekitar juga untuk proaktif bahwa di sekitaran kita masih banyak masyarakat yang ibarat kata miskin dari akses pendidikan minimal untuk membaca dan menulis sebagai modal fundamental dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Angka melek huruf Indonesia memang berangsur membaik hingga 2022 sudah mencapai hampir 97 persen masyarakat atau 97 dari 100 orang bisa membaca dan menulis. Dan memang sudah banyak pula Provinsi yang angka melek hurufnya mencapai angka 99 persen sekian alias sudah sempurna (mendekati 100 persen).
Namun masih banyak juga yang berada dibawah angka 95 persen alias tentu masih banyak warganya tidak sama sekali bisa membaca maupun menulis.
Ini merupakan 'tamparan keras' bagi Pemerintah Daerah yang lemah dalam mengimplementasi sistem pendidikan Nasional yang sebenarnya kewenangannya sudah dialokasikan kepada daerah sebagaimana disesuaikan pada kebutuhan atau kondisi yang terjadi alias sudah otonomi.