Sudirman Said, jubir Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 mengatakan bahwa Anies sudah mengantongi 3 nama yang relevan untuk menjadi Cawapresnya. Sosok tersebut akan diusulkan dalam waktu yang dekat bilamana deklarasi Koalisi Perubahan juga sudah diputuskan sampai membentuk Sekber seperti Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yaitu PKB dan Gerindra.
Anies dengan pilihan rasional memutuskan 3 nama berdasarkan pada electoral factors yang merepresentasikan basis massa dan suara yang solid kedepannya. 2 nama yang sempat 'bocor' yaitu Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jatim dan juga Ketua Muslimat NU dan Yenny Wahid yaitu Putri Gusdur dan juga sebagai sosok Fungsionaris di PBNU masa Yahya Staquf sebagai Ketua Umumnya. 2 nama yang rasional karena merepresentasikan basis geografis Jawa bagian Timur yang sangat padat dan sanggup memenangkan suara Joko Widodo 2014 dan 2019. Jawa adalah kunci, Gubernur Jatim pegang Muslimat dan Yenny Wahid punya jaringan Gusdurian. Rasional dan sangat efektif mengcounter narasi radikalis yang menerpa Anies semenjak dekat dengan FPI.
Ada apa dengan Khofifah? Kalau Yenny Wahid memang baru ini muncul, tepatnya ketika Anies dan Yenny bertemu di Singapore sebagai pembicara dan Yenny menganggap Anies sebagai sosok potensial, makanya didaulat sebagai bakal Cawapres.
Khofifah malah lebih maju bahkan jauh sebelum deklarasi Nasdem awal Oktober 2022 lalu dimana Khofifah dinilai tepat dan digaungkan oleh tokoh Nasdem yang juga sosok Nahdliyin yaitu Gus Choi. Mengingat Anies juga punya kemampuan dalam tenun kebangsaan senafas dengan Nahdliyin maka perlu sosok Nahdliyin dampingi dan Khofifah adalah sosok tepat apalagi dinilai sukses membangun Jatim. Lebih tepatnya lagi diungkit peran Nasdem terhadap Khofifah juga.
Betul sekali, kalau bukan karena Surya Paloh yang membujuk Khofifah yang saat itu Menteri Sosial saat mengikuti event Nasdem sekitar 2017 lalu dimana saat itu banyak fungsionaris Nasdem yang meminta agar Khofifah kembali maju ke Pilgub Jatim setelah Khofifah 'kapok' kalah di 2013 lalu dan akhirnya menjadi Timses Jokowi-JK di 2014 dan jadi Mensos. Bahkan beliau sendiri saat itu masih jaya-jayanya sebagai Menteri ditandai survey yang mendaulat dia sebagai Menteri terbaik saat itu.
Bisa terbayang, bisik-bisik Surya Paloh tersebut bermuara panjang sampai akhirnya Partai lain mendukung dan singkat cerita dia menang. Maka demikian ada makna tersendiri ketika Nasdem juga ingin menggaet Khofifah sebagai Cawapres Anies. Tidak lain adalah utang budi bahwa Khofifah sukses di Jatim maka demikian sekalipun Khofifah bukan kader Nasdem musti mau untuk di'perintah' sama Nasdem. Kira-kira seperti itu
Seberapa besar peluang Khofifah sebagai seorang Kepala Daerah dan juga tokoh Nahdliyin bisa mendapatkan tempat untuk mendampingi di kontestasi Pilpres nanti? Atau seberapa besar pula dia mempertahankan kedudukannya sebagai seorang Kepala Daerah di Provinsi yang sangat strategis mengingat pertumbuhan investasi disana sangatlah tinggi?
Pertanyaan ini menjadi analisis di kalangan akar rumput tentang sosok seperti Khofifah. Dia memang berkharisma namun disisi lain sebenarnya dia masih cukup banyak PR yang mendera di masa pemerintahannya hingga Februari 2024 nanti bersama Emil Dardak yang juga Ketua Demokrat Jatim. Bisa jadi konsensus yang terbangun di kalangan Koalisi Perubahan adalah Emil Dardak yang selain diplot untuk DKI, jika memang Khofifah naik jadi Cawapres. Emil bisa untuk menjadi Cagubnya. Lagian, banyak yang berkata bahwa kepemimpinan Khofifah gebrakannya hanya di awal bahkan terkesan stagnan tanpa ada improvisasi. Memang prestasinya juga tidak bisa dianggap remeh di usianya yang 3 tahun dimana banyak indikator semisal investasi, pertumbuhan ekonomi, turunnya angka pengangguran dan stunting juga membaik namun PR lainnya juga tidak sedikit terutama berkaitan dengan program-program unggulan Khofifah-Emil.
Terlepas fenomena yang terjadi, kontroversi lain juga datang seperti Jatim juga sebagai Provinsi terbanyak yang endapkan anggaran. Ini juga tidak relevan terhadap semangat Pemerintah memulihkan ekonomi ditengah angka kemiskinan yang naik-turun nyatanya kesenjangan juga tinggi diakibatkan ketidakmerataan pendapatan dan Pemerintah seakan tidak mendistribusikan melalui 'uang rakyat' yang dipertanggungjawabkan melalui program nyata.
Terus terang kesimpulannya juga akan sangat berat kalau berkaitan dengan penerimaan masyarakat terkait kepuasan. Approval rating Khofifah juga relatif tinggi di kisaran 55-65 persen namun ketidakpuasannya juga lumayan yaitu sekitar 40an persen menandakan bahwa ada bentuk ketidakoptimalan di sisa waktu yang musti dituntaskan.
Masyarakat menilai dia musti komitmen menuntaskan tugasnya di Jawa Timur ketimpang berambisi pada kancah Nasional yang belum tentu pasti. Soal ketokohan Khofifah memang hebat namun ketika membumi, terus terang dia belum sepenuhnya menjawab tuntutan. Bahkan berbeda sekali ketika dia menjabat Mensos dimana banyak terobosan yang dilakukan dan tentunya mendukung kepemimpinan Nasional saat itu.