Pilkada 2018, Pilkada paling seksi ketika partai atau koalisi partai berhasil mengusung siapa yang
menjadi calon maka bisa diperhitungkan maksimal di 2019 berpotensi menang di basis baru yang
berhasil diraih saat Pilkada. Tidak terkecuali kesuksesan di Pilkada Jabar menurut saya terus terang
adalah efek dari puncak bonus demografi yang digaungkan sejak 2015 ketika lonjakan usia produktif
secara masif menjelma menjadi kantong elektoral baru. Bonus demografi bukan hanya berkenaan
dengan surplus ekonomi melainkan surplus politik dari generasi muda. Siapa yang berhasil, jawabannya
adalah Jawa Barat.
Jawa Barat di tahun 2018, penduduknya hampir 50 juta jiwa (47-48 juta). Provinsi terpadat di Indonesia
menjadi 'lumbung basah' dalam sebuah konstelasi Politik Nasional. Sama halnya dengan DKI, Jabar seksi
karena kuantitas, sedangkan DKI seksi karena kualitas mengingat perpolitikan secara Nasional baik
Eksekutif maupun Legislatif belum lagi afiliasi bisnis berlangsung di Jakarta. Sedangkan di Jabar kaya
akan industrialisasi ditopang oleh kepadatan penduduknya sekaligus lokasinya tidak jauh dari Ibukota.
Menurut data KPU, DPT Pilkada Jabar 2018 sebanyak 32 juta jiwa (17 tahun keatas). Partisipasi pemilih
pun sangat tinggi dimana +/- 70 persen atau sekitar 23 juta pemilih aktif mencoblos disini, uniknya
dominasi pemilih adalah generasi muda baik Under 30 maupun pemilih pemula. U-30 berkontribusi
pada +/- 75 persen jumlah keseluruhan pemilih 17 juta pemilih, 55 persen nya lagi adalah pemilih
pemula usia 17-23 tahun (+/- 9 juta pemilih). Segmen ini tersebar di daerah perkotaan baik di Cekungan
Bandung (Cimahi, Bandung Kota, Bandung Kabupaten, Bandung Barat) maupun di Bodebek (Bogor
Kota/Kab, Depok dan Bekasi Kota/Kab). Pemilih muda mengalami lonjakan dari hanya 45 persen di 2013.
Pada 2018 menjadi 75 persen setara 30 persen penambahan selama 5 tahun.
Hasilnya sangat signifikan, 23 juta warga terdaftar memilih. Siapapun yang paling banyak dipilih oleh
anak muda, dialah yang menjadi pemenang. Dari 17 juta pemilih, +/- 6,1 juta pemilih termasuk pemula
memilih Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (36 persen-nya dari seluruh Under 30). Segmen ini juga
berkontribusi pada 84 persen total suara RK sendiri sebanyak 7,3 juta pemilih. Sangat jauh sekali
dibanding competitor lainnya seperti Sudrajat-Syaikhu dengan +/- 26 persen pemilih U-30, Deddy
Mizwar-Dedi Mulyadi 22 persen, dan Tb Hasanudin-Anton hanya 16 persen. Ladang baru yaitu pemilih
muda apalagi pemilih pemula sangat menjanjikan dalam Politik di masa kini karena semangat mereka
ingin perubahan apalagi mereka sedang mencari jatidiri sebagai pembaharu. Terus terang, warga Jabar
merasa 10 tahun di kepemimpinan Ahmad Heryawan saat itu didampingi oleh 2 artis yaitu Dede Yusuf
dan Deddy Mizwar hanya unggul popularitas apalagi 5-10 tahun sebelumnya masyarakat belum proaktif
atau kritis menentukan pemimpinnya bahkan terkesan apatis hanya melihat figur booming saja.
Berbanding terbalik dengan setelahnya, masyarakat merasa osok Ridwan Kamil dengan segudang
gebrakan dan prestasi di 5 tahun kepemimpinan di Kota Bandung layak diperhitungkan jika memimpin
lebih luas yaitu Jawa Barat.
Jawa Barat butuh inovasi, sentuhan langkah progresif dengan menjaga
harmoni mengingat Jabar strategis sebagai penyumbang ekonomi terbesar di Indonesia. 10 tahun Jabar
terkesan kaku karena konservatisme atau fanatisme agama. Bandung dibawah Ridwan Kamil berhasil
membuka pondasi keterbukaan itu di Kota Bandung, belum lagi karya-karya infrastruktur tematik dan
menambah minat generasi muda secara literasi apalagi Ridwan Kamil juga merupakan sosok pemimpin
muda karena belum genap 50 tahun. Sehingga pemilih secara rasional merasa Ridwan Kamil punya
rekam jejak, berhasil menggagas dan eksekusi, terlihat trotoar, taman kota, flyover, alun-alun, bus
wisata hingga creative center dan kolam retensi, semua aktif terekam dalam sosial media beserta narasi
menarik sehingga mudah dipahami. Berbanding jauh dengan sang atasan yaitu Gubernur yang bahkan di
sekitaran Gedung Sate pun tidak dikenal. Hanya terkesan seremonial dan minim terobosan. Jawa Barat
terkesan monoton, masalah seperti kemiskinan-ketimpangan, konflik sosial/intoleransi, belum lagi banjir
bandang dan tanah longsor, apalagi infrastruktur yang rusak di kawasan industri. Menjadi masalah serius
yang harapannya segera teratasi.
Belakangan ini, survey menunjukkan approval Rating atau kepuasan masyarakat terhadap RK sebagai
seorang Gubernur sangat berkurang drastis. Terakhir di 4 tahun kepemimpinannya sudah sampai pada
titik 54 persen. Hanya 29 persen sangat puas, Jauh dibawah pimpinan Provinsi lain yang rata-rata
sekontroversi apapun bisa memegang rata-rata nilai approval rating diatas 60 persen bahkan untuk
sangat puasnya bisa diatas 40 persen. Berarti ada 46 persen lebih masyarakat yang tidak puas dan 78
persen adalah masyarakat milenial berusia dibawah 30 tahun. Dapat disimpulkan mereka merasa
performa Kang Emil berkomitmen membangun Jabar terlepas krisis baik pandemi maupun turunannya
seperti sekarang tidak lah lebih baik. Terlepas juga patokan berbasis janji kampanye yang selama ini
digaungkan maupun isu-isu terkini yang perlu ditangani serius. Pemilih muda itu rasional namun kritis,
mereka tahu yang terbaik secara obyektif namun tak ragu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
pemimpin tersebut. Berhasil diangkat dengan mudah namun ketika sudah sampai diatas belum bisa
memenuhi ekspektasi.
Belajar dari Pilkada Jabar 2018 demi hadapi Pemilu 2024. Berhati-hatilah dengan para pemuda yang
sebagai Swing Voters dimana mereka memilih pada situasi yang tengah alias bukan mencari yang terbaik
tapi jangan sampai yang terburuk. Umumnya hanya terjadi di 2 paslon, tapi hal ini juga bisa berlangsung
di lebih 2 paslon. Ridwan Kamil adalah simbol harapan dengan progresivitasnya. Pada Pemilu 2024,
Bonus Demografi berlaku secara Nasional dan Jawa sebagai trendsetter tumbuhnya anak muda sebagai
aktor politik. Tiap Provinsi pasti mengalami lonjakan +/- 60 persen pemilih muda (U-30) di wilayah bukan
hanya Jabar, tapi Jatim, DKI, DIY, Banten dan Jateng. Sehingga, siapapun yang akan bertanding musti
cermat perhatikan dan realistis mengingat literasi pemilih semakin cerdas. Jangan berjanji tentang
langit, jangan berusaha me-muda-kan diri sendiri. Melainkan semua bisa terejawantahkan dalam sebuah
realita yang tentunya mengedepankan prinsip Continuity and Change, melanjutkan yang baik dan
memperbaiki kekurangan. Karena anak muda butuh kepastian, bukan sekedar retorika yang membuat
nyaman. Anak muda harus berevolusi tapi juga realistis dengan integritas. Karena sekali lagi,
kepercayaan itu Mahal. Usahakan jangan berlomba menjadi Nomor 1 tapi pastikan jangan sampai turun
dari kenyataan selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H