Lihat ke Halaman Asli

Felix Sevanov Gilbert (FSG)

Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

Sebuah Ironi: (Wacana) Kenaikan Pajak, Pulihkan Ekonomi atau Penghambat Ekonomi?

Diperbarui: 15 Mei 2021   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya ingin mengawali sebuah opini ini melalui sebuah pengantar yang sangatlah sederhana namun bermakna. Saya memang bukanlah ahli ekonomi namun saya hanya bersuara sesuai dinamika yang ada. Mengapa menjadi sebuah ironi? Kurang lebih kita menganggap bahwa Pajak merupakan Beban yang terjadi dalam Ekonomi, disisi lain itu merupakan kontribusi lumrah dalam kegiatan ekonomi sebuah Negara disisi lain menjadi salah bilamana semua terkesan salah kelola dan menimbulkan Polemik. 

Kenaikan pajak ditengah krisis sendiri merupakan sebuah paradoks dalam upaya mengungkit daya ekonomi. Pemerintah hanya terkesan melihat pada faktor pemasukan saja tanpa melihat apa aspek pemberdayaan yang harus ditata atau diperbaiki menghadapi situasi yang selanjutnya. Praktik Kapitalisasi memang sangatlah menjelma dalam Negeri ini, namun apakah Negara kita harus terus menyikapi sebuah tantangan dengan kacamata yang kapitalis alias terkesan cari untung.

Singkat cerita kita mengenal Kapitalisasi. Kapitalisasi selalu berkaitan dengan bisnis yaitu barang/jasa diperjual-belikan demi memenuhi kebutuhan dikalangan masyarakat. Semua berjalan melalui modal dan tentu melalui mekanisme yang sangatlah panjang mulai dari proses produksi kemudian distribusi hingga pada konsumen dalam kaitan konsumsi. 

Semua butuh pertimbangan, semua butuh rasionalitas karena hendaknya praktik-praktik seperti ini kelak memberikan sebuah kontribusi yang menguntungkan bagi manusia. (Adam Smith, 1759) Rasionalitas itu kemudian memunculkan paradigma baru bahwa disisi lain manusia berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya namun disisi lain cara-cara yang dilakukan haruslah cerdas. Mengapa? 

Karena kembali pada Gagasan Adam Smith yang juga sangatlah relevan bahwa demi meraih hasil yang seluas-luasnya memang haruslah melalui modal atau pengorbanan yang sekecil-kecilnya atau kita pahami sebagai motif ekonomi. Mudahnya, kita harus berpikir pula dengan modal Rp1000 bisa menghasilkan keuntungan sebesar Rp100.000 dalam 1 hari, bagaimanapun caranya? Tentu perlu sebuah terobosan, perlu sebuah inovasi dan semua dilandasi pada fenomena yang berkembang selaras dengan teknologi atau hal-hal yang berbau kemajuan atau progresivitas. Kapitalisasi atau Kapitalisme memang proses yang berkaitan dengan kekayaan, dengan modal dan juga alat-alat produksi serta faktor modal lain yang berkaitan dengan kemakmuran. Namun apakah kemakmuran itu sudah benar-benar berjalan?

Pertanyaan besar ini tentu sangatlah terngiang dan barang tentu sudah banyak menjadi dasar kritisi terhadap berbagai fenomena yang ada dalam dunia. Konkritnya kita pahami justru Kapitalisasi sangatlah paradoks dengan upaya menuju kemakmuran itu. Mengapa? Karena bilamana masyarakat sudah sejahtera semua tentu tidak membutuhkan lagi barang/jasa yang hendaknya melalui mekanisme pasar, atau mudahnya tidak ada lagi yang harus menjadi bagian dari alat produksi atau mekanisme pasar tersebut untuk memenuhi kebutuhan. 

Maka jurang antara si kaya dan si miskin akan terus terjadi selama Kapitalisasi ini selalu menjadi pakem dalam membangun tatanan kehidupan manusia, tidak terkecuali dewasa ini di Indonesia. Bahkan kita sering mendengar istilah Neoliberalisme atau Neolib. Itu merupakan salah satu terobosan pemikiran yang tidak jauh dari praktik kapitalisasi saat ini. 

Prinsipnya ketika Negara yang terbuka terhadap pasar bebas melalui ekspor-impor, kemudian perekonomian yang ditopang investasi melalui modal dan juga sektor-sektor ekonomi yang terbangun didalamnya kemudian melahirkan banyak lapangan kerja dimana pada akhirnya Negara pun cenderung minim dalam intervensi namun kuat dalam mendorong minat terhadap arus ekonomi lewat sektor permodalan yang terbuka seluas-luasnya, misalkan melalui Regulasi atau Insentif lain yang menguntungkan (Deliarnov, 2006). 

Memang, Negara kita tidak secara eksplisit mengakui bahwa Ekonomi kita mengacu pada Neoliberalisme seperti negara-negara maju misalkan Amerika Serikat, atau negara-negara Uni Eropa seperti Inggris, Perancis, Italia, dll dimana keberhasilan mereka mutlak karena pasar Global yang mereka kuasai lewat kemudahan berusaha atau investasi. Nyatanya, Ekonomi kita adalah Pancasila yang seharusnya tidak serta-merta melahirkan gagasan yang mengacu pada Liberalisme.

Sedikit banyak kita akan menyinggung pernyataan dari Bung Hatta, sebagai Bapak Ekonomi Indonesia (selain sebagai seorang Proklamator Indonesia). Kurang lebih bilamana eksplisit pada intinya adalah bahwa Ekonomi kita memang mengedepankan perluasan terhadap segala aspek, namun semua harus dijalankan seturut dengan kehendak Demokratis rakyat, yaitu perlu prinsip permusyawaratan agar semua sama-sama terakomodir dan menikmati berbagai potensi dari sendi-sendi ekonomi tersebut yang mana prinsip secara sosial (sosialisme) cenderung nyata melalui pembagian secara merata yang didasari atas ketentuan yang sama-sama saling dihormati. (Hatta, 1931).

 Inilah yang menjadi dasar Ekonomi Pancasila kita sesuai pada UUD 1945 sebagai Konstitusi Bangsa. Namun apakah yang berjalan sudah demikian? Walaupun memang secara arahan Ekonomi kita juga mengacu pada prinsip Sosial-Demokrasi atau kita kenal dengan Pemerataan Kesejahteraan. Apakah Neoliberalisme yang belakangan ini terjadi menjamin Kesejahteraan itu akan merata dalam praktik Implementasinya? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline