[caption caption="sumber: porosberita.com"][/caption]
Polemik mengenai kebebasan berpendapat menyeruak lagi ke ruang publik dengan keluarnya pernyataan dari Ketua Umum AJI
(Aliansi Jurnalis Independen) Suwarjono. Dalam pernyataannya itu AJI menyimpulkan ada tiga pertanda di mana mereka
mensinyalir bahwa Pemerintahan Jokowi-JK ingin memberangus kebebasan berpendapat di Indonesia.
Pertama tentunya adalah Rancangan KUHP yang diajukan pemerintah kepada DPR yang mana di dalamnya terdapat pasal-pasal
tentang penghinaan kepala negara yang sempat menghebohkan karena dianggap sebagai penghidupan kembali pasal-pasal
karet yang sudah dicabut MK yang mengancam pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pemerintahan.
Pertanda kedua adalah tentang revisi Rancangan UU ITE yang kembali memberikan ancaman pidana pada pihak-pihak yang
dianggap menghina di dunia maya. Sementara korban dari UU ITE saat ini sudah ada yang berjatuhan hanya karena curhat
mereka di media.
Dan pertanda ketiga adalah pidato Presiden Jokowi di Sidang Tahunan MPR tanggal 14 Agustus yang lalu. Di sana kalimat
Jokowi yang mengecam media yang hanya mengejar rating dan tidak memandu publik dirasa sangat kontras dengan tindakan
nya menganugrahi Surya Paloh dengan Bintang Maha Putra, sementara pada tahun 2014 AJI sempat menegur redaksi
penanggung jawab Metro TV media milik Surya Paloh dan mengecamnya sebagai Musuh Kebebasan Pers karena sikap tidak
independen mereka pada pemilu 2014.
Pro dan Kontra tentunya muncul atas pernyataan AJI tersebut. Apakah benar pemerintah yang sekarang ingin memberangus
kebebasan berpendapat atau hanyalah sekedar ingin mencegah hal-hal yang buruk, yang mungkin saja terjadi karena ingin
bebas dalam berprilaku dan menyuarakan pendapatnya ? sehingga terjadilah apa yang oleh sebagian orang dicap sebagai
kebebasan yang ke babalasan ?
sebetulnya mudah saja menentukan mana prilaku yang bebas yang kebablasan ini. Semua orang tentu sadar bahwa berteriak
"Kebakaran !" dalam sebuah ruang yang penuh sesak atau mengirim pesan "ada bom di pesawat itu" adalah kebebasan yang
sudah kebablasan dan bisa langsung dipidana, karena hal tersebut dapat membahayakan jiwa orang lain belum lagi
kerugian materil yang bisa ditimbulkannya.
Kebebasan berpendapat yang juga tidak boleh adalah tentunya yang menyangkut kebencian atas perbedaan SARA dan hasutan
untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum.
Selain daripada itu sebetulnya kebebasan berpendapat dan beropini tentunya tidak boleh dikekang, termasuk yang membuat
kuping merah dan wajah panas. Kalau ada pihak yang sungguh merasa dirugikan karena pendapat orang lain, tinggal
digunakan pasal pencemaran nama baik yang berlaku universal untuk semua orang mulai dari Presiden sampai rakyat yang
paling miskin sekalipun.
Jika tidak suka dan merasa sungguh terganggu misalnya dengan pernyataan: "Dia kan dapat jabatan Menko Kesra karena
Mama-nya";
atau pernyataan: "Dia itu kan mantan narkoba.. lihat deh kemana-mana selalu pakai lengan panjang, karena di tangan nya
ada bekas-bekas suntikan dan tato salib"
silahkan lah yang bersangkutan melapor ke polisi agar yang menyatakan pernyataan tersebut tersebut bisa di proses
secara hukum dan pembuktian di depan pengadilan bisa dilakukan.