Lihat ke Halaman Asli

Felix Aditya

orang jawa

Tradisi Gugur-gunung

Diperbarui: 25 Mei 2021   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi gugur gunung di desa Mundusewu, Wonosari. | dok. istimewa

Dalam dunia modern ini banyak perkembangan-perkembangan secara teknologi yang mulai mengikis tradisi atau budaya-budaya lama. Sikap kolektivisme dan high context culture sudah menjadi pengetahuan yang mendasar yang tanpa dikatakan sudah dimengerti oleh orang jawa. 

Sikap kolektivisme orang jawa masih sangat kental dan mendarah daging sebagai tradisi yang turun temurun dipahami. Tetapi dengan adanya perkembangan modernisasi dan teknologi memang nilai-nilai tentang budaya kolektivisme orang jawa mulai memudar. High context culture jika dalam budaya jawa dapat disebut sebagai unggah-ungguh atau subasita. 

Baca jugaGugur Gunung, Bekerja Sama Menyelesaikan Masalah Bersama

Unggah-ungguh atau subasita adalah hal yang tertanam pada setiap orang jawa, misalnya adalah jika ada orang yang lebih tua harus lebih sopan dengan cara menggunakan bahasa jawa kromo inggil. 

Sikap kolektivisme orang jawa dapat dilihat dari beberapa hal contohnya adalah kerja bakti. Kerja bakti secara lebih luas memang budaya turun temurun dari leluhur kita yang ada di Indonesia. Orang jawa sendiri memiliki budaya kerja bakti sendiri yang disebut gugur gunung. 

Gugur gunung adalah kegiatan gotong royong atau kerja bakti tipikalnya berada di wilayah pedesaan yang dilakukan biasanya untuk membuka lahan baru ataupun jalan baru (Muhid.,Sunaryo : 2015). 

Baca jugaGugur Gunung Alam Raya

Gugur gunung identik dilakukkan di daerah pegunungan, kurang jelas mengapa dinamakan sedemikian rupa tetapi dapat dipastikan hal ini diturunkan dari mulut ke mulut. Dari contoh kegiatan kolektivisme yang ada di jawa ini dapat dilihat sikap non-individualsme yang tertanam pada orang-orang pedesaan ataupun pegunungan. 

Tradisi-tradisi seperti gotong royong dan kerja bakti ini masih kental jika di kawasan pedesaan, sementara di wilayah perkotaan sudah mulai jarang bahkan sudah hilang. Karena pada wilayah pedesaan dan gunung masih kental akan budaya dan tradisi maka high context culture dapat terwujud. Sanksi yang diterima jika tidak mengikuti semisal gugur gunung atau kegiatan kolektivitas lainnya di wilayah pedesaan adalah sanksi susila semisal merasa tidak enak karena warga lain aktif mengikuti ataupun jadi buah bibir warga sekitar. 

Baca jugaGugur Gunung, Tradisi di Perkampungan yang Masih Terjaga

Gugur gunung hingga sekarang masih menjadi tradisi yang rutin dilakukan di beberapa wilayah contohnya di desa Mundusewu, kecamatan Bareng, kabupaten Jombang ataupun wilayah Gunung kidul, Wonosari.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline