Lihat ke Halaman Asli

“NU POLITIK”, PEMERINTAH & 1 SYAWAL

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Inilah refleksi setelah Rembulan mencapai purnama dan kita belajar tentang penentuan 1 Syawal yang kontroversial.

Kita memang punya kesalahan kolektif sejak awal, yakni: tidak memisahkan antara metode tertentu dengan kelompok pengusungnya. Inilah biang kerepotan kita sampai entah kapan. Kalau tidak diperbaiki, maka sampai 2060-pun ribut2 penentuan 1 Syawal masih akan terjadi.

Mestinya orang tidak usah mengait2kan ormas yang mengusung salah satu metode. Hisab wujudul hilal mestinya tidak usah dikaitkan dengan Muhammadiyah. Rukyat tidak usah dikaitkan dengan NU. Imkanurrukyat dikaitkan dengan entah siapa.

Mestinya pemerintah berusaha saja untuk mensosialisasikan metode2 yang ada. Lalu mewanti2 & menerapkan kalisnya hal itu dari klaim posesif ormas manapun juga. Tegasnya, ormas diimbau untuk tidak men-daku salah satu metode sebagai miliknya eksklusif. Toh faktanya di dalam tubuh suatu ormas ternyata juga terjadi penerapan metode yang berbeda2.

Kalau hal itu tidak juga disiasati demikian, maka kerepotan yang selama ini terjadi akan berkelanjutan. Meskipun mungkin solutif secara teknis, tapi memang repot kalau pemerintah memakai “metode Muhammadiyah”, karena akan dianggap tidak akomodatif kepada pendapat mereka yang bukan Muhammadiyah.

Sebaliknya, manakala pemerintah cenderung kepada “metode NU”, seperti yang kini terjadi, ternyata berujung pada semacam komplikasi. Hal itu memang sebagai bentuk “perawatan politis” terhadap kaum nahdhiyin, khususnya kepada “NU Politik”. Padahal di kalangan kaum nahdhiyin banyak juga yang tidak mengikuti pemerintah; bahkan juga rela menyelisihi Pengurus Besar NU yang kebanyakan berisi orang2 NU dari sayap politik, yg kita sebut sbg "NU Politik”.

Sesungguhnya lobi2 dari sayap “NU Politik” itulah yang berperan besar dalam mendesakkan kebijakan versinya sendiri kepada pemerintah. Sementara pemerintah yang berkepemimpinan lemah tampak berusaha mendekat ke “NU Politik” lantaran punya hitung2an tersendiri terhadap kedekatan itu. Di luar perhitungan pemerintah, kedekatan demikian (yang berujung pada “perawatan politis” terkait dengan penetapan 1 Syawal 1432) ternyata berujung komplikasi.

Kini di tengah masyarakat kian diyakini bahwa “pemerintah memang lemah”, “pemerintah salah lagi mengambil sikap”, “pemerintah kurang cerdas”. Hal itu dideretkan dengan predikat2 kelemahan di masa lalu dan kini terkait dengan prestasi pemerintah semacam ini: korupsi yang tidak kunjung teratasi; remisi untuk koruptor yang mencoreng muka pemerintah; mafia hukum yang jalin berkelindan; keok saat berhadapan dengan polisi laut Negeri Jiran, masalah hukum pancung di Saudi ….

Walhasil, pelajaran yang terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Jika Pemerintah SBY tidak juga belajar dari pengalaman itu (seperti kasus2 terdahulu), pihak lain-lah (yakni masyarakat luas) yang mestinya belajar. Yang lain-lain wujudnya entah bagaimana, namun ada satu yang jelas: Metode penentuan bulan baru harus dilepaskan dari politisasi yang dihubung2kan dengan ormas; dan pemerintah lepas tangan dari situ.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline