Lihat ke Halaman Asli

Hikmah Kebijaksaan dalam Pancasila dan Kontroversi 1 Syawal 1432 H

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendapat berikut ini pertama2 dibuat dengan asusmsi: (1) saya boleh mengkritisi Pancasila dan (2) kelima sila itu boleh dipilah satu dari yang lainnya. Jadi kalau ayahanda saya (yang merupakan Penatar P4) atau siapa pun juga membaca ini, mohon jangan naik darah dahulu. Sebab, untuk sementara saya masih berpegang pada asumsi tadi.

Nah, seraya menikmati kontroversi 1 Syawal 1432 H, lalu mencermati Pancasila frasa sila ke-4 “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, kini saya melihat kelemahan rumusan Pancasila. Rumusan itu ada yang kurang. Mestinya rumusan itu menjadi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atas dasar kebajikan”.

Mengapa demikian? Sebab, saya mulai merasa risau atas permusyawaratan perwakilan (yakni permusyawaratan oleh wakil-wakil unsur masyarakat), namun dilakukan tidak atas dasar kebajikan, melainkan atas dasar power & transaksi politik.

Kalau Sidang Isbath dianggap sebagai sebentuk permusyawaratan, saya melihat betapa musyawarah yang diharapkan bulat itu bisa diperoleh dengan cara yang tidak adil dan tidak bajik. Ada fakta tak terbantah bahwa “bulan di ufuk langit akan selalu terbit pada saatnya, dan bulan Syawal pun sudah datang, meskipun sidang isbath mengingkarinya”.

Itu baru pengalaman dari Sidang Isbath.

Pengalaman dari Senayan lain lagi. Meskipun suatu kasus korupsi begitu bejatnya, tapi kalau DPR plus Pemerintah membuat aturan kesepakatan yang menyatakan sebaliknya, maka koruptor pun bisa melenggang di muka bumi dengan penuh selesa. Dia pun bisa berselesa ke mana dia suka, sementara tersangka maling ayam digebuki babak belur oleh massa.

Saya memang merasa kuatir terhadap masa depan Indonesia. Di negeri ini, kian hari penjahat korupsi dan petualang politik kian memperoleh tempat terhormat hanya karena mereka menguasai “sidang permusyawaratan-kesepakatan” yang menguntungkan dirinya. Tentu saja itu adalah permusyawaratan tanpa kebajikan. Permusyawaratan yang bisa dibuat termasuk untuk mengingkari bahwa tempat terbit matahari adalah timur dan tempatnya tenggelam adalah barat….

Itulah sebabnya saya merasa perlu menyertakan kata “kebajikan” dalam rumusan sila ke-4….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline