Perkembangan internet yang begitu pesat berdampak ke hampir semua aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data We Are Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebesar 132 juta orang. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa setengah atau lebih dari 50 persen penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media sosial mencapai 49% persen populasi pengguna internet di Indonesia.
Dalam pertumbuhan pengguna media sosial sendiri, Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dengan tingkat pertumbuhan mencapai 23% atau 24 juta pengguna dalam satu tahun terakhir. Fakta dengan meningkatnya angka pengguna media sosial ini, pada akhirnya telah membawa persaingan baru bagi partai politik dan kandidat dalam Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Andrew Chadwick (2006) menyebutkan ada tiga poin bagaimana penggunaan Internet (dalam hal ini media sosial) dapat mempengaruhi lanskap partai politik.
Pertama, media sosial akan meningkatkan kompetisi partai. Dalam banyak kasus, partai-partai kecil yang memiliki sumber daya terbatas, tidak memiliki pengaruh, khususnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Namun dengan internet sebagai media yang murah, dan juga lebih mudah diakses daripada teknologi komunikasi lainnya, mereka dapat bersaing dengan partai-partai besar yang memiliki sumber daya lebih kuat. Media sosial memungkinkan partai politik kecil untuk menjangkau pendukung potensial serupa dengan partai besar.
Kedua, media sosial dapat meningkatkan interaksi masyarakat dengan partai politik maupun kandidat. Masyarakat memiliki akses lebih untuk menyalurkan aspirasi kepada partai politik maupun kandidat yang di dukungnya. Pada saat yang sama, partai politik dan kandidat dapat mengkoordinasikan pendukung mereka dengan lebih mudah dan cepat untuk memobilisasi mereka misalnya pada saat kampanye.
Kemudian yang ketiga, sebagai adaptasi kelembagaan. Arti adaptasi kelembagaan yaitu adanya pergeseran bentuk aktifitas politik offline ke online. Partai politik maupun kandidat dapat memanfaatkan media sosial dengan kampanye yang sama seperti dalam politik off-line.
Melalui media sosial partai politik maupun kandidat dapat membuat strategi komunikasi lebih efektif. Namun saya ingin menyampaikan beberapa catatan yang akan menjadi tantangan bagi partai politik dan kandidat yang menggunakan media sosial sebagai alat kampanyenya pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019, yaitu :
- Pertama, masih adanya ketimpangan infrastruktur di Indonesia yang akhirnya menyebabkan kesenjangan digital. Beradasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Facebook tentang The Inclusive Internet Index 2017, Indonesia masih menduduki peringkat ke 35 dari 75 negara. Indeks tersebut terdiri empat kategori yaitu; ketersediaan, keterjangkauan, relevansi, dan kesiapan. Ditinjau dari ketersediaan internet, posisi Indonesia berada di nomor 42. Dilihat dari Keterjangkauan, Indonesia berada di nomor 24. Berdasarkan relevansi, Indonesia berada di nomor 47. Kemudian yang terakhir dari kesiapan pengguna berada di nomor 30. Selanjutnya berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai perilaku penggunaan Internet Indonesia tahun 2017. Berdasarkan hasil survei, wilayah dengan tingkat penggunaan internet tertinggi masih didominasi oleh wilayah Jawa. Jumlah pengguna internet di Jawa mencapai 58,08 persen dari total pengguna di Indonesia. Posisi kedua ditempati oleh wilayah Sumatra dengan jumlah pemakai internet mencapai 19,05 persen. Posisi ke-tiga ditempati oleh Kalimantan dengan jumlah pengguna 7,97 persen. Oleh karena itu, berdasarkan data diatas, dapat dikatakan pemanfaatan media sosial sebagai alat kampanye tidak dapat dilakukan di semua daerah, kecuali di daerah yang memiliki kesediaan infrastruktur internet yang baik, seperti di Pulau Jawa.
- Kedua, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye belum tentu berjalan efektif. J. Hands (2011) mengingatkan bahwa dengan memiliki teknologi seperti media sosial, tidak menjamin penggunaannya akan sesuai. Seringkali, media sosial hanya digunakan untuk mendukung cara kampanye politik yang lama, tetapi mengabaikan potensi sesungguhnya dari media sosial. Sehingga partai politik dan kandidat yang menggunakan media sosial sebagai alat kampanyenya pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019, tidak dapat memanfaatkan media sosial seperti dengan pendekatan media konvensional, yaitu dengan hanya komunikasi satu arah. Partai politik dan kandidat harus menggunakan media sosial dengan interaktif untuk memperkuat yang telah ada dalam media konvensional. Strategi menggabungkan media sosial dengan media konvensional menjadikan komunikasi politik yang menarik dari partai dan kandidat.
Oleh sebab itu, selain hanya sekedar memiliki website dan akun media sosial, partai politik dan kandidat seharusnya dapat menggunakan website dan media sosial tersebut secara interaktif, sehingga dapat mendekatkan dengan calon pemilih.
Felicia Angeline B.
XIH-14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H