Kini Erupsi Gunung Semeru hanya menyisakan kenangan akan keindahan alamnya juga meninggalkan banyak luka bagi para korbannya.
Erupsi Gunung Semeru di Indonesia pada 4 dan 5 Desember menewaskan sedikitnya 43 orang, dengan 13 orang hilang dan sedikitnya 3.000unit rumah rusak hingga 9 Desember.
Ribuan warga, khususnya Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengungsi ke desa-desa terdekat.
Gubernur Jawa Timur, tempat gunung berapi itu berada, mengklaim sistem peringatan dini gunung berapi (VEWS) telah aktif dan berjalan, mengutip Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Tapi Mengapa Sistem Peringatan Dini Gagal Menyelamatkan Nyawa Warga Sekitar Semeru?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami bagaimana PVMBG Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklasifikasikan peristiwa fisik Semeru dan tingkat siaga yang sesuai.
PVMBG memantau dan mensurvei status bahaya Semeru menggunakan VEWS yang berfokus terutama pada ancaman utama gunung berapi yaitu letusan, termasuk emisi abu yang lebih besar dan material lain ke atmosfer dari dalam.
Indonesia 'mengadopsi' klasifikasi bahaya gunung berapi AS, di mana status gunung berapi tertinggi adalah Awas (Tingkat Peringatan – Merah).
Awas berarti “gunung berapi akan meletus, sedang meletus atau dalam keadaan kritis yang dapat mengakibatkan bencana. Tanda-tanda kritis ditandai dengan pelepasan abu ke atmosfer yang berpotensi memicu letusan dalam waktu kurang dari 24 jam”.
Implikasinya, pesan peringatan di tingkat masyarakat hanya dikeluarkan di tingkat Awas dan tidak di tingkat bawah lainnya.
Menurut PVMBG, ledakan di sekitar Semeru bukan karena aktivitas utama dari dalam gunung berapi, melainkan ledakan akibat curah hujan.