Jaman sekarang rasanya aneh kalau masih ada orang yang pergi ke warnet. Bagaimana tidak? Internet yang dulu dicari orang-orang di warnet searang dapat ditemukan di mana-mana berkat perkembangan teknologi. Kegiatan menjalah internet, bermain game, menonton dapat diakses dengan mudah melalui handphone, alat paling penting di abad ke-20. Hampir semua orang memilikinya saat ini, kukatan hampir karena aku sendiri tak memilikinya.
Setiap malam akhir pekan, aku mengunjungi warnet dekat tempat tinggalku. Tempat penuh computer dan alat-alat canggih itu sudah sepi pengunjung dari lama. Setiap ke sana, hanya ada aku dan tiga orang lainnya yang selalu kutemui. Mereka semua adalah teman-temanku dengan berbagai latar belakang mereka untuk mengunjungi warnet ini. Aku sendiri berkunjung ke sini agar tidak ketinggalan jaman. Kebanyakan waktu aku menjelajah internet, menjajal berbagai aplikasi di komputer, dan mempelajari sesuatu dari sana. Sepeser uang jajan yang kusisihkan untuk membayar biaya warnet ini tidak terbuang sia-sia berkat pengetahuan yang kudapatkan selama lima jam di sana. Biasanya aku mencatat informasi penting dari penelusuranku di internet, termasuk rumus pemrograman dan cara memainkan game. Teman-temanku di sana sering membantu jika aku mengalami kesulitan. Kami cukup akrab, walau akhir-akhir ini salah satu dari kami terasa seperti menghindar.
Aku sangat bersyukur dapat merasakan perkembangan teknologi sekaligus mendapatkan teman di warnet ini, walau hanya seminggu sekali. Bagi aku yang tidak memiliki handphone, memiliki laptop atau komputer adalah hal yang tak pernah kupikirkan, jadi takkan pernah terbayang bagiku juga untuk ditunjuk sekolah mewakili lomba coding game tingkat nasional! Sekolah bahkan menuliskan surat khusus untuk mengundangku yang tidak punya handphone ini. Alisku mengkerut sembari tanganku memijat-mijat celah di antaranya. Aku memikirkan bagaimana ini bisa terjadi. Apa karena saat itu aku pernah membenarkan error di website sekolah yang dibajak murid-murid nakal yang enggan ikut ulangan online? Bukankah bisa dibilang itu hanya kebetulan? Mengapa sekolah begitu mempercayaiku mengikuti lomba ini, terutama lomba coding game?
Di tengah keresahanku, tiba-tiba kurasakan ada tangan jahil yang menepuk pundakku dengan keras. Aku hafal ini ulah siapa dan benar saja, Tora Cahyadi, salah satu temanku di sini yang selalu memakai topi. Topi seperti sudah menjadi bagian tubuhnya, aku bahkan tidak mengenalinya jika ia tidak memakai topi kesayangannya itu. Tora adalah anak pemilik kafe internet ini. Dia pun bertugas menjaga warnet ini. Dialah yang dari awal mengajariku cara menggunakan computer hingga aku mampu menjelajah sendiri. "Kenapa, Gha? Kok pusing gitu?" tanya Tora. Aku tidak menjawab pertanyaannya melainkan langsung memberikan surat yang kupegang kepadanya. "Lihat sendiri, Tor," pesanku. "Edyan, apaan nih! Surat dari sekolah untuk Ismail Ragha Sastrowidoyo, di tempat. Kami segenap civitas sekolah menginginkan saudara untuk mengikuti lomba Coding Game Developer tingkat nasional yang akan diselenggarakan pada-"
"Tor, udah, Tor!" teriakku berusaha membungkamnya yang membacakan surat itu dengan lantang. Meskipun warnet ini sepi, tetap ada beberapa orang yang ngopi di depan. Suara Tora pasti terdengar oleh mereka.
"Wah, gila! Keren banget, Bro! Ndak ada komputer wae bisa ditunjuk sekolah ikut lomba coding lho! Mantap, Men!" komentar Tora penuh semangat. "Itu pujian apa ejekan ya?" tanyaku bercanda.
"Lah, pake nanya! Jelas-jelas itu pujian lah. Bayangin aja siswa SMA yang nggak punya hape jadi juara lomba coding nasional. Wah, pasti mukamu disiarin jadi kisah inspiratif! Ditambah hadiahnya tuh IPhone lho, Bro! Wuish, kalah aku sama kamu," balas Tora. "Nah, itu masalahnya, Bro. Aku nggak yakin bisa menangin lomba ini. Aku tuh nggak pernah belajar coding game, dan tenggat waktu buat persiapan sama hari-H pengumpulannya singkat banget. Aku nggak mungkin bisa belajar secepat itu! Apa aku tolak aja ya?" keluhku resah.
"Duh... Ragha... Ragha, kamu kok nggak percaya diri banget sih? Jelas-jelas bakat kamu di situ lho! Jangan pura-pura bodoh gitu! Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali lho, Gha. Udah ikut aja. Menang kalah yang penting pengalaman," celetuk suara perempuan. Ia adalah Astrid. Di usianya yang masih 15 tahun, laptopnya sudah penuh dengan catatan keuangan penjualan bisnis online-nya, sehhingga tidak ada ruang untuk mengunduh game. Astrid pun ke sini untuk bermain game favoritnya. Aku merasa lebih tenang setelah mendengar ucapan Astrid dan Tora. Kehadiran mereka berhasil menghilangkan keraguanku dan membangkitkan jiwa kompetisiku. Tetapi aku juga sadar bahwa dukungan emosional saja tidak cukup, aku juga memerlukan dukungan finansial untuk memakai komputer warnet ini hampir setiap hari, dan juga seorang yang mampu mebimbingku merangkai kode-kode pemrograman. Semangatku menciut lagi dan itu terpancar dari wajahku.
"Lho, kok murung lagi sih, Bro? Ada apa?" tanya Tora yang sekarang duduk di sebelahku. "Hah... banyak faktor lain yang harus aku pertimbangkan juga, Bro... Kalau mau jadi juara nggak sesimpel itu, Bro," jawabku. Dua orang di dekatku saling bertatap-tatapan sambil memijat dagu mereka. Cukup lama keheningan canggung terjadi. Aku ingin segera menghentikannya, tetapi belum sepatah katapun terucap, tiba-tiba Tora mengatakan sesuatu.
"Oh, kamu khawatir sama biaya warnet ya? Ah, tenang aja, Bro, selama kamu latihan kamu boleh sepuasnya pakai komputer di sini, kapan aja dan yang mana aja, gratis!" ucap Tora santai. Aku tidak pernah menyangka orang sejahil Tora akan berbuat sebaik ini, terlebih di dengan tepat menjawab pertanyaan di kepalaku. "Hah, yang serius, Bro?" tanyaku. "Aku mana pernah bohong sih," balasnya sambil tertawa.
"Kalau faktor lain yang kamu butuh konsumsi atau moral support. Nih, ada aku pakarnya," ucap Astrid sambil menunjuk dirinya sendiri. "Udah, Gha. Jalanin aja, kita berdua bakal bantu kamu kok," tambahnya. "Ya ampun, serius, Trid?" responku bersemangat. "Aku nggak nyangka kalian ternyata sesuportif ini. Makasih banyak lho!" lanjutku.