Lihat ke Halaman Asli

Senjakala Kefanaan#1

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hatta, Tan Malaka dan Sjahrir merantau hingga negeri Belanda, apa yang mereka lihat di pelupuk mata mereka? Gajah-gajah besar di tanah yang hampir tenggelam. Mengapa mereka saat kembali ke kampung halaman lebih memilih memajukan pendidikan? Tentu bukan semata agar terlihat cerdas, karena bisa memblejeti bagaimana Gajah-gajah di seberang lautan bisa mengambil keuntungan dari tanah jajahan yang, sementara waktu hanya dihuni oleh-oleh semut-semut kecil. Tentu juga bukan semata ingin menjadi gajah besar pula di pelupuk mata para semut.Tentu saja, mereka hanya sebentar singgah di kampung halaman, maklum terlalu banyak semut cerdas yang sudah bisa melihat gajah besar dari segala sudut pandang. Lagi pula, sementara pendapat telah mengemuka, bahwasanya semut-semut hitam adalah pekerja keras dan saling bergotong royong demi semut-semut betina. Cocok dan sesuai dalam beberapa takaran pikiran, tapi tunggu dulu, jangan ditakar dengan takaran dalam pasar para semut. Tiga hari tiga malam belum tentu selesai segala perdebatan. Selesaipun bukan sebab telah sepaham, sementara mungkin ada yang berhasil menerapkan lamak dek awak katuju dek urang, atau di sementara waktu, lamak dek awak, sansaro bia dek urang. Teranglah ilimu-ilmu mereka tak laku dengan mudah di ranah. Hatta dan Tan Malaka 'menyesuaikan' dalil-dalil, agar bisa diterima dalam "pendidikan". Namun, semangat yang tumbuh berdasarkan konsep-konsep mereka, diikuti oleh semangat yang tumbuh tersebab dalil-dalil yang beredar sesuai dengan pepatah, gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan sedang berbaris untuk berlaga. Tak salah bila Tan Malaka berpesan, jadilah murid dari Barat yang cerdas, agar tersesuaikan materialisme, dialektika dan logika dalam kebudayaan yang masih berkabut oleh rinai-rinai yang lihai mengelabui. Bahkan dalam majunya peradaban, gajah terlihat sangat detail hingga ke pori-porinya, tersebab karena memang begitulah yang dikondisikan dan dijadikan acuan. Sebagaimana banyak orang harus tahu kalau Cristiano Ronaldo, sering bercermin sebelum berlaga. Sementara sedikit sajalah yang tahu kalau sepakbola antar kampung baru akan marak menjelang pemilu. Atau banyak orang tahu isi kamar selebritis di banding isi kamar pacar sendiri. Lagipula, dalam kebinalan-kebinalan kecil yang hormonis, pun kegegap-gempitaan corong mikropon para aktivis, ketakutan itu muncul dari bawah sadar. Takut di DO, takut menyengsarakan orang tua. Takut 'hilang malam', padahal belum pernah bercinta. Takut dicap kiri, radikal atau teroris bahkan ateis, takut masuk neraka. Takut kritis sama dosen, nanti dapat tak dapat nilai, tidak lulus-lulus, lalu kapan bekerja, kawin, beranak pinak dan sehat sejahtera? Takut terlihat cerdas, takut kena sikut para mentor atau senior. Takut mengkritik bekingan petugas, takut dengan senjata, karena tidak punya senjata atau keseringan nonton tipi. Lalu, kami ya kami, mereka ya mereka. Ini simbol kami, itu panji-panji mereka. Kami paling jago, mereka seringkali loyo. Kami bergerak, mereka ingin masuk berita. Kami mengamati semut, mereka sibuk menyelamatkan gajah. Itulah banalitas. Ada dalam pepatah. *** beginilah dan begitulah nasib bila menumpang.. harus belajar dari Tan Malaka, menghafal dengan metoda jembatan akal, tapi apalah daya benak yang terlalu sering gegar, bukan organ yang kuat untuk mengingat. sementara menahan emosi adalah bersiap menahan letupan-letupan di dada berkancah sempit. Maaf aku lupa namamu, buku catatan terkunci di kamar tumpangan, entah bagaimana nasibnya kini. aku tak hafal ayat-ayat metodologi, jadi jangan bercengkrama soal bagaimana meneliti lalu menulis laporan-laporan teringat adalah malapetaka tiba-tiba, bagaimana neuron menerima simptom akibat-akibat selalu beruntut panjang bahkan saat ini aku tak punya tabungan buat biaya penguburan *** ini sedang melihat gajah di pelupuk mata... bernama realita... bukankah impian sebesar semut kecil di seberang lautan, sebutlah itu, bebas, membutuhkan sederet panjang hafalan-hafalan... baik itu hafalan kalam-kalam teori, pun hafalan-hafalan kitab-kitab suci... sementara untuk realita di pucuk mata, harus ada kerja keras, kekerasan, keterkalahan, kelebaran pikiran, penyimpanan rasa takut, menekan rasa marah, merepresi gejolak birahi, mereduksi kinerja hormon, menjadi bukan manusia. membutuhkan penerimaan serta pelarian-pelarian. Bagaimana jika tidak ada lagi kesempatan untuk lari dan tidak ada tempat untuk lari? sementara kita harus selalu berlapang dada untuk setiap kesombongan-kesombongan generasi baru yang pintar-pintar mengeja dan melafalkan kata. atau generasi-generasi baru yang berkutat dalam pelarian yang gemerlapan, atau menyingkirkan diri dalam perbedaan-perbedaan yang dikreasi menjadi eksklusif... seorang remaja bernama putri, mati membunuh dirinya. ia tidak punya alasan untuk mati. ia malu dan dipermalukan undang-undang dan aturan-aturan. ia tak punya bayangan ke depan dalam kehidupan di bawah undang-undang dan aturan-aturan. ia tidak punya bayangan ke depan dalam kehidupan yang mempersyaratkan pangkat-pangkat kepintaran dalam deretan simbolisasi bertajuk ijazah. ia tidak punya bayangan ke depan dalam kehidupan yang memaksakan tataran ideal dengan kasar, sementara membiarkan realita yang mesum dan koruptif terpapar bugil di kotak-kotak gambar bergerak. dalam umurnya yang baru tujuh belas, ia mati. entah umpatan apa yang dia terima saat diperiksa pemuda2 berseragam, ia cukup merasa malu karena keluar malam bagi perempuan adalah tindakan pengakuan diri sebagai pelacur, perempuan jahanam dan tidak ada dalam kamus-kamus tataran ideal bagi masyarakat yang berketuhanan dalam sosial. Ahmad Husen dan Fuentes, tidak sempat menyaksikan mereka-mereka yang kemudian berkesepahaman dengannya di pelosok2 rimba bukit barisan, berjejer lalu bergelimpangan dihantam peluru senapan mesin hadiah dari saudara amerika yang tercinta. Atau ia hanya membaca dan mendengar kisah, seorang demang yang kemudian naik pangkat dalam masa belanda, karena melibas pemberontak-pemberontak dari silungkang dan sawahlunto. Ahmad Husen dan Fuentes, entah apa dalam pikirannya bila ia tahu, demang yang sama jadi orang berpangkat di masa merdeka, berkuasa dalam kilahan, yang dia basmi adalah mereka yang tak bertuhan. Sepertinya butuh syarat kebertuhan jika ingin melawan penindasaan dan ketidakadilan, baik terhadap bangsa asing, maupun bangsa sekampung. Lalu, kita diberi ruang untuk menyisakan iba, selama iba tidak terlarang oleh undang-undang dan peraturan yang demokratis dan konstitusional. Kesentimentilan kita yang melulu melodramatis itu harus bisa bertahan dari rayuan optimisme a'la mario teguh, gegap gempitanya semangat di setiap subuh, atau betapa harmonisnya kehidupan manusia-manusia dalam televisi, pun betapa mengetarkannya kecabulan dari internet via DNS proxy. Bahwasanya kecemburuan itu membutuhkan pula rantai-rantai pengikat artifisial. Karena dari cemburu kita kemudian mendefenisikan kita 'ada' secara ontologis, dan pencapaian yang kita raih dengan kerja keras adalan hasil proses untuk menjadi. Entah untuk menjadi dalam runtutan akibat-akibat, atau menjadi karena polesan-polesan, nepotisnya kesempatan atau apa yang berhasil tercuri dalam kesempitan. Komersialisasi selalu menbutuhkan kompetisi, perlombaan, untuk menjadi apapun. Ada yang kemudian terfaktakan terlihat cerdas karena bisa menguraikan hasil pengamatannya terhadap semut di seberang lautan. Ada pula yang kemudian terlihat jauh lebih cerdas karena bisa menjabarkan orang-orang yang ingin terlihat cerdas. Ada becik olo ketoro, bagaimana yang olo akan ketoro kalau orang-orang dibius untuk menikmati 'kebecikan' a'la kekuasaan dan pemikiran arus utama yang dominan dalam setiap kanal kehidupan. bukankah olo yang selalu diulang-ulang kemudian adalah "kebecikan" yang penuh kebajikan sesuai dengan dasar-dasar falsafah yang untuk menegakan kesaktiannya pun harus menanggalkan satu demi satu butir-butir penjabarannya... kekuasaan yang cerdas hingga kini telah memfatwakan bahwa genealogi jauh lebih berbahaya dari virus flu-burung. *** Kapau 11-12 September 2012 Komentar dan eksplorasi https://www.facebook.com/notes/utche-p-felagonna/senjakala-kefanaan1/10151131452244326

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline