Lihat ke Halaman Asli

SARA; Suku, Agama, dan Rasa

Diperbarui: 24 April 2019   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasihan, sampai Tahu Sumedang dan Bika Ambon saya bertengkar di atas meja makan. Sebentar lagi nasi warteg dan petai cina datang. Waduh. Bisa jadi tambah ramai urusannya.

Konyol sekali. Sampai ke soal makanan saja jadi rasis dan sara. Orang-orang berhati gelap. Saking inginnya mempertajam perbedaan dan kebiasaan Tajassus - - mencari-cari kesalahan. Hal-hal kecil sekelas sempilan di celah gigi saja berusaha dibesarkan-besarkan, seolah itu perkara akidah hidup dan mati.

"Hindarilah berprasangka, karena berprasangka itu ucapan yang paling dusta. Dan jangan melakukan tajassus (memata-matai) dan tahassus (mengorek-ngorek berita)." (HR. Bukhari 5143 dan Ahmad 7858).

Kecuali - - salah satunya - - untuk mencari bukti. Itupun tidak boleh diungkapkan sebelum mendapatkannya. Karena nanti sifatnya menjadi Hasut dan Hasad - - dengki. Lalu dipertimbangkan lagi kaidah mafsadat dan manfaatnya. Niatnya supaya mudharatnya tidak meluas dan berkelanjutan. Menyadarkannya. Menghukumnya sesuai aturan, bila perlu.

Bukan untuk menghina dan mempermalukan.

Jika hanya rasa puas di hati yang dicari dan senyuman sinis merendahkan. Itu artinya baru sekedar membela nafsu. Ego. Belum membela Kebenaran.

Wallahu A'lam.

Ini Mi Aceh, Gudeg Yogya, dan Soto Banjar juga sedang mendengarkan. "Kalian ini Indonesia, tahu kan ya?" 

Iya, katanya.

Hihihi. Ada-ada saja. 

-gwvk-

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline