Lihat ke Halaman Asli

Ferra ShirlyAmelia

istri yang suka menulis dan minum kopi

Gaji Naik: Awas Jebakan Lifestyle Inflation!

Diperbarui: 24 Januari 2025   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pexels.com

Di tengah maraknya flexing, ada satu jebakan yang sering tidak disadari banyak orang yaitu: lifestyle inflation. Ini adalah kondisi di mana seseorang terus meningkatkan gaya hidupnya seiring dengan bertambahnya penghasilan, tanpa mempertimbangkan kestabilan finansial jangka panjang. Fenomena ini banyak terjadi, terutama ketika seseorang merasa perlu mengikuti standar sosial tertentu agar dianggap sukses.

Awalnya, mungkin hanya ingin membeli barang yang sedikit lebih mahal sebagai bentuk apresiasi diri. Namun, lambat laun, kebiasaan ini berkembang menjadi kebutuhan untuk selalu "naik kelas." Dari handphone terbaru, pakaian bermerek, hingga mobil yang lebih mewah, semua dibeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan untuk tetap terlihat sukses di mata orang lain. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak orang terjebak dalam pola ini tanpa perhitungan matang, bahkan rela berhutang demi memenuhi ekspektasi sosial.

Di sisi lain, ada orang-orang yang memilih jalan berbeda yaitu mereka yang diam-diam membangun kestabilan finansial tanpa perlu terlihat mewah. Mereka lebih memilih menabung, berinvestasi, dan membangun aset ketimbang sekadar memamerkan gaya hidup. Mereka memahami bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang bisa dibelanjakan, tetapi seberapa baik seseorang bisa mengelola keuangannya untuk jangka panjang.

Kenaikan gaji sering kali datang dengan godaan besar: mengubah gaya hidup dan memenuhi keinginan untuk "mengikuti tren." Tidak jarang, setelah menerima kenaikan gaji, kita merasa lebih mampu dan berhak untuk menikmati barang-barang yang lebih mahal. 

Padahal, kenaikan gaji seharusnya menjadi kesempatan untuk memperbaiki kondisi finansial jangka panjang, bukan sekadar alat untuk meningkatkan gaya hidup. Ketika gaji naik, banyak yang merasa harus "menyesuaikan" standar hidupnya. Namun, itu sering kali menjebak dalam siklus belanja yang tak berujung sampai akhirnya justru bisa memperburuk kestabilan finansial. Alih-alih menggunakan tambahan gaji untuk menambah tabungan atau investasi, banyak yang lebih memilih untuk berbelanja demi memenuhi keinginan yang berlandaskan pada citra sosial, bukan kebutuhan yang sesungguhnya.

Faktor yang membuat seseorang terjebak dalam pola ini beragam. Salah satunya adalah tekanan sosial, baik dari lingkungan sekitar maupun media sosial. Ketika melihat teman sebaya sudah memiliki rumah mewah atau sering liburan ke luar negeri, muncul rasa ingin ikut serta agar tidak dianggap tertinggal. Di sisi lain, iklan dan tren konsumtif juga memainkan peran besar, membuat seseorang merasa perlu membeli sesuatu yang sebenarnya tidak mendesak.

Jika dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius. Mereka yang terus meningkatkan gaya hidup tanpa perhitungan akan menghadapi berbagai risiko, seperti:

1. Kesulitan menabung dan berinvestasi, karena sebagian besar penghasilan habis untuk pengeluaran konsumtif.

2. Terjebak utang, terutama jika gaya hidup dipertahankan dengan cara kredit atau pinjaman.

3. Tekanan finansial yang meningkat, karena semakin tinggi standar hidup yang dibuat, semakin sulit pula untuk mempertahankannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline