Dulu, bagi saya, kopi yang enak adalah kopi yang manis. Setiap kali memesan kopi, saya selalu memastikan ada tambahan gula agar lebih nikmat dan nyaman di lidah saya. Saya terbiasa dengan rasa manis yang dominan, seolah tanpa itu kopi tak lagi menarik.
Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari bahwa kebiasaan ini bukanlah kebiasaan yang baik. Terlalu banyak gula tidak hanya berisiko bagi kesehatan, tetapi juga menutupi cita rasa asli kopi itu sendiri. Kopi yang sejatinya memiliki keunikan rasa malah tenggelam dalam dominasi manis yang berlebihan.
Kesadaran itu membuat saya perlahan mengubah kebiasaan. Awalnya, saya meminta gula dikurangi setengah dari biasanya. Mungkin bagi sebagian orang ini perubahan kecil, tetapi bagi saya yang terbiasa dengan rasa manis yang kuat, ini adalah tantangan tersendiri. Rasanya sedikit aneh pada awalnya, tetapi lama-kelamaan lidah saya mulai bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru ini.
Sampai akhirnya, ketika memesan latte, saya memberanikan diri untuk menikmatinya tanpa tambahan gula sedikitpun. Dan ternyata, rasanya jauh lebih enak dari yang saya bayangkan. Foam-nya yang sedikit gurih berpadu sempurna dengan tekstur lembut kopinya.
Saat itu, tiba-tiba saya berpikir, ternyata memahami hidup tak ubahnya seperti menikmati kopi ya! Ada yang bisa menerima kepahitannya begitu saja, tanpa perlu tambahan pemanis lagi. Ada yang menambahkan sedikit gula untuk menyeimbangkan rasa. Tapi ada juga yang terlalu berlebihan, menenggelamkan rasa asli kopi dengan pemanis yang akhirnya justru membahayakan diri sendiri.
Hal itu tak ubahnya seperti dunia dan segala kenikmatannya. Jika dinikmati secukupnya, ia bisa menjadi berkah. Namun, jika berlebihan, ia hanya akan menjadi beban. Terlalu banyak harta bisa membuat lupa diri, terlalu banyak kesenangan bisa melalaikan, terlalu banyak keinginan bisa menjebak dalam ketidakpuasan.
Hidup bukan hanya tentang mengejar manisnya kebahagiaan, tetapi tentang menemukan keseimbangan dalam setiap rasa yang hadir. Kita diajarkan untuk bersabar saat kesulitan datang, dan bersyukur saat kelapangan tiba. Dalam mengelola harta, kita pun dituntut untuk tidak mudah terjebak pada manisnya hawa nafsu dunia.
Selain itu, perlu juga diperhatikan, 'dengan siapa kita menghabiskan secangkir kopi?' Karena, senikmat apa pun kopinya, jika percakapannya membosankan, tentu membuat kita malas menikmatinya. Begitu pula hidup. Menjalani hari-hari dengan orang yang tepat bukan hanya soal menghabiskan waktu, tetapi juga berbagi makna.
Dalam rumah tangga, tidak selalu "kemewahan" membuat kebersamaan terasa berharga, melainkan lebih pada ketulusan dalam memahami, mendukung, dan menghargai satu sama lain. Hidup yang sederhana bisa terasa begitu kaya jika diisi dengan kebersamaan yang hangat, sementara hidup yang dipenuhi kemewahan bisa terasa hampa jika dijalani dengan orang yang salah.
Maka, menemukan teman hidup yang bisa memaknai kebersamaan dengan sederhana, tenang, dan bahagia jauh lebih penting daripada sekadar mencintai manisnya raga semata. Sebab, fisik akan menua, harta bisa berkurang, dan kehidupan tak selalu berjalan mulus. Tetapi jika ada seseorang yang mampu membersamai dengan ketulusan, yang memahami bahwa hidup tak harus selalu manis namun tetap bisa dinikmati, maka setiap hari akan terasa lebih ringan dan penuh makna. Seperti latte tanpa gula, yang ternyata lebih nikmat demikian adanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI