Pindah rumah menjadi momentum penting bagi kami untuk memulai gaya hidup slow living. Momen ini menyadarkan kami betapa banyaknya barang yang selama ini tidak benar-benar kami butuhkan. Saat memilah dan merapikan, kami mendapati banyak sekali benda yang hanya menjadi "beban visual" tanpa memberikan manfaat nyata. Di samping itu, dari literatur tentang minimalisme, kami juga belajar untuk lebih memprioritaskan manfaat jangka panjang dibandingkan kenangan yang melekat pada benda. Barang-barang yang tidak lagi kami perlukan kami berikan kepada orang terdekat yang mau memanfaatkan. Langkah ini benar-benar mampu membuat rumah terasa lebih lapang, lebih hemat waktu dan energi terutama saat bebenah, hati dan pikiran pun ikut terbawa menjadi lebih ringan.
Langkah berikutnya adalah keputusan untuk tidak terburu-buru memasang internet dan TV kabel setelah pindah rumah. Awalnya, kami sempat khawatir akan merasa kehilangan atau terputus dari dunia luar. Namun, hari-hari berlalu, dan kami justru menemukan bahwa hidup tanpa fasilitas tersebut sama sekali bukan masalah besar. Untuk kebutuhan pekerjaan, hotspot dari ponsel sudah lebih dari cukup. Menariknya, tanpa terpaku pada layar TV dan acara-acara yang sering kali membuat candu, kami mulai menikmati hal-hal sederhana seperti mendengarkan siaran radio. Streaming radio ternyata mampu memberi pengalaman berbeda, lebih ringan, santai, dan menghibur tanpa harus terpaku pada layar. Informasi terkini pun lebih cepat kami dapatkan melalui media sosial, yang sering kali lebih cepat dan relevan dibandingkan berita televisi yang cenderung diulang-ulang.
Keputusan ini membawa banyak perubahan yang tidak terduga. Hidup kami menjadi lebih sederhana, bebas dari tekanan untuk mengikuti tren atau mengejar tayangan hiburan yang seolah tak ada habisnya.
Penting dipahami bahwa slow living bukan berarti hidup dengan lamban atau menunda-nunda. Sebaliknya, slow living adalah cara hidup yang penuh penghayatan, menikmati setiap momen dengan lebih sadar, tanpa tergesa-gesa mengejar hal yang tidak perlu. Ini bukan tentang menghentikan laju hidup, melainkan tentang menyelaraskannya dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang benar-benar penting.
Dari pengalaman ini kami belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar atau berlebihan. Ternyata, hidup yang sederhana, jauh dari konsumsi berlebihan, sudah bisa membawa kebahagiaan. Misalnya, pagi hari semakin bermakna tanpa suara televisi, diganti dengan suara suami mengaji. Setelahnya bisa ngobrol sambil minum kopi dan sarapan dengan masakan rumah seadanya, di luar jam kerja sebisa mungkin tidak memegang gadget, sekedar bermain uno atau tebak-tebakan ngasal sudahlah mampu mencipta riuh tawa. Tak ada piranti yang istimewa, semua tercipta dan mengalir apa adanya, namun justru itulah yang mampu menghadirkan rasa syukur yang mendalam.
Kesederhanaan ini mengajarkan kami untuk lebih menghargai apa yang kami miliki, tanpa terus-menerus merasa kurang. Dengan hidup yang lebih 'perlahan', kami menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari memiliki lebih banyak, tetapi dari kemampuan kita menikmati apa-apa yang sudah ada, melatih hati senantiasa qona'ah. Hati yang mampu menerima apa yang telah Allah karuniakan kepada kita dengan penuh rasa syukur, tanpa berlebihan atau merasa kurang. Prinsip yang sangat relevan dengan konsep slow living, di mana kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi pada seberapa besar rasa syukur kita terhadap apa yang ada.
Selain itu, kami juga diingatkan bahwa setiap nikmat yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Dalam konteks ini, slow living membantu kami untuk lebih bijak menggunakan apa yang ada dan tidak berlebihan dalam menikmati nikmat dunia. Kesadaran akan adanya hisab, mendorong kami untuk hidup lebih sederhana, tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri, tetapi juga sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dengan cara ini, kami berharap bisa menjalani hidup yang lebih berkah, jauh dari sifat boros apalagi tamak.
Dan ternyata, perjalanan hidup telah mengajarkan jika untuk memulai slow living tidak harus menunggu tua. Justru bersyukur sekali bisa membiasakan diri untuk hidup bahagia dengan kesederhanaan sedari muda. Perjalanan ini membuat kami lebih menghargai waktu, ruang, dan pengalaman yang kami miliki.
Dengan kesederhanaan ini tidak berarti kami mengabaikan kebutuhan, tetapi kami lebih berusaha memilah mana yang benar-benar perlu dan mana yang hanya keinginan sesaat. Dengan begitu, hidup terasa lebih bermakna dan jauh dari tekanan untuk selalu menginginkan lebih.
Kami percaya, slow living bukan sekadar tren, sudah bertahun-tahun kami memulainya dan semakin sadar jika ini adalah pilihan hidup kami, yang membantu kami memahami apa yang benar-benar penting.
Hidup sederhana ternyata bisa dimulai kapan saja, bahkan sejak muda. Semakin dini kita membiasakan diri, semakin besar manfaat yang bisa kita rasakan. Mari mencoba, menikmati hidup dengan 'perlahan'. Karena di situlah kebahagiaan sejati dapat ditemukan dan Insyaa Allah keberkahan akan senantiasa menyertai.