Serupa berjalan dengan satu kaki hampir setengah mati. Terseok-seok mencari pegangan dalam lorong remang-remang. Seakan tersesat, padahal alur jalan ini sudah melekat dalam kepala. Tapi telapak tangan ini hanya mampu merasakan dinding yang dingin nyaris membeku. Mata ini hanya butuh cahaya, kaki ini hanya butuh penopang, secepatnya. Tidak ada tawar-menawar untuk menunggu lagi.
Hanya dengan membiarkan tangan ini tergores dinding hingga berdarah adalah satu-satunya tanda bahwa nyawa belum meninggalkan raga. Padahal hati sudah meminta mati. Raga sudah meminta binasa.
Tapi sukma ini bertahan. Tetap egois bertahan. Tidak peduli raga dan hati berteriak, memohon, bersujud meminta berhenti, berkata cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H