Lihat ke Halaman Asli

Grand Design “Bank Ternak” Sapi Terpadu di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_111726" align="aligncenter" width="300" caption="Internet"][/caption] Ketika saya membaca harian kompas rabu (1/6/2011) yang membahas tentang sangsi yang akan dijatuhkan oleh Pemerintah Australia terhadap Indonesia berupa penghentian pasokan sapi potong. Membaca berita itu, sepintas saya termenung sejenak mengetahui berita tersebut. Kemudian saya kembali melanjutkan untuk membacanya, ternyata alasan tersebut terkait mekanisme pemotongan. Yakni mekanisme yang tidak sesuai standar internasional pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia. Dalam benak saya, so what dengan sangsi tersebut. Karena menurut saya Indonesia adalah negara agraris, dimana katanya juga unggul dalam aspek pertanian dan peternakan. Tetapi ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam, guna mengklarifikasi tentang realita tersebut. Dengan mencari tahu kondisi peternakan dan bisnis daging sapi di Indonesia. Dari berita portal online dan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, saya terkejut.

Data tersebut menunjukkan bahwa, Indonesia masih sangat bergantung terhadap sapi potong dan daging sapi impor. Yakni dari data pada tahun 2009, jumlah kebutuhan akan konsumsi produk daging sapi di Indonesia sebesar 390.000 ton. Dari kebutuhan tersebut, 40% diantaranya disuplai (disokong) oleh produk daging sapi impor. Yakni sejumlah 70.100 ton daging impor dan 500.000 - 550.000 ekor sapi bakalan impor. Dari masuknya sapi potong (bakalan) impor dan daging sapi impor tersebut, juga menyebabkan daya saing harga produk daging sapi lokal pun anjlok. Karena harga daging sapi lokal yang relatif lebih mahal.

Sehingga jika pemerintah Australia menerapkan sangsi tersebut secara berkelanjutan. Terdapat dua kemungkinan, yakni dampak positif berupa kondisi para peternak sapi lokal menjadi lebih baik dan bergairah. Karena pasokan sapi impor dan daging impor berkurang sehingga berakibat pada peningkatan permintaan terhadap produk daging sapi lokal. Tetapi di sisi lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa pemenuhan kebutuhan akan daging sapi di Indonesia akan menjadi sangat terganggu. Serta berdampak juga terhadap lonjakan harga produk daging sapi serta olahannya karena permintaan yang terus meningkat, tetapi malah terjadi penurunan pasokan di pasar.

Pada kondisi di atas, terlepas dari penyebab masalah pelarangan tersebut. Indonesia patut bersyukur dan belajar banyak. Yakni Indonesia dapat memulai untuk mendayagunakan dan memaksimalkan produksi sapi lokal dan peranakan sapi luar (BX) serta meningkatkan kapasitas dan kualitas RPH. Karena sebagian besar konsumen khususnya konsumen industri dan rumah tangga menegah atas. Lebih menyukai produk daging sapi dan olahannya yang berasal dari impor.

Karena hal tersebut disebabkan oleh kualitas daging sapi impor yang lebih lunak. Disamping itu RPH di negara pemasok, umumnya telah menerapkan Sistem Jaminan Keamanan Pangan atau Food Safety Assurance System, yang ditandai dengan telah diterapkannya cara penanganan yang baik (Good Hygienic Practices/GHP) dan sistem mampu telusur (traceability system). Selain itu sertifikasi Sistem HACCP, ISO 9001:2000 atau ISO 22000 juga merupakan sertifikat yang umum dimiliki RPH, dalam rangka menjamin konsistensi keamanan dan kualitas daging yang dihasilkan. Kapasitas produksi RPH di luar negeri, umumnya jumlah pemotongan lebih dari 200-3.000 ekor/hari, kondisi ini tentu sangat efisien dari sisi biaya produksi.

Selain itu, pada semua pemotongan di RPH menerapkan sistem bucther (cutting), yang menghasilkan daging dengan berbagai jenis potongan/grade daging. Berbeda dengan daging sapiimpor, daging sapi lokal yang dihasilkan dari RPH lokal yang umumnya masih dikelola secara konvensional dengan kapasitas pemotongan skala kecil kecil (20-60 ekor/hari), sehingga kurang efisien. Sarana prasarana di RPH lokal juga umumnya masih belum memadai untuk melakukan proses pemotongan yang memenuhi persyaratan higiene sanitasi, ditambah lagi masih kurangnya kesadaran pelaku pemotongan (jagal) untuk menerapkan program kebersihan diri (personal hygiene) saat pemotongan yang menjadikan rendahnya jaminan keamanan daging lokal dibandingkan daging sapi impor.

Demikian pula, dengan belum diterapkannya sistem bucther (cutting), sehingga seluruh bagian daging dijual dengan harga yang relatif sama. Dengan demikian kebutuhan berbagai jenis daging tertentu untuk kebutuhan industri pengolahan daging skala menengah maupun industri tradisional, belum sepenuhnya terpenuhi dari produksi dalam negeri.

Melihat fenomena ketergantungan Indonesia terhadap sapi potong dan daging sapi impor serta ancaman penghentian ekspor sapi dari Australia serta kapasitas dan kualitas RPH di Indonesia yang masih lemah. Penulis yakin bahwa Indonesia dapat mandiri dalam mengelola sumberdaya ternak, khususnya sapi. Baik itu sapi dari bibit lokal maupun sapi peranakan (BX). Indonesia harus mandiri yakni dengan membuat Grand Design terpadu peternakan atau “Bank Ternak” Sapi Terpadu. Dimana dalam Grand Design ini, akan ada pada setiap region atau wilayah. Untuk uji cobanya, semisal di wilayah Jawa Tengah, terdapat region BARLINGMASCAKEB yang terdiri dari beberapa kabupaten. Kemudian menerapkan konsep Grand Design “Bank Ternak” Sapi Terpadu ini.

Terpadu disini berarti bahwa terdapat peternakan sapi dalam skala besar dan modern. Guna menjaga kualitas dan kapasitas sapi, harus didukung oleh RPH bersertifikasi internasional maupun nasional. Sehingga kualitas dan kapasistas RPH dalam menghasilkan daging sapi dan produk olahan yang berkualitas dan terjamin secara kesehatan. Dalam menjamin kualifikasi yang ditetapkan terhadap produk daging sapi dan produk olahan sapi. Pada Grand Design “Bank Ternak” Sapi Terpadu ini, juga akan berlokasi pada satu wilayah yang cukup luas dan disokong pula oleh program kemitraan dengan petani lokal guna memperlancar dan mendukung pasokan sapi. Selain itu, pada “Bank Ternak” Sapi Terpadu ini juga, akan mempekerjakan tenaga ahli yang berguna untuk menjaga dan mengembangkan kualitas sapi.

Pada pola kemitraan dengan petani peternak lokal, juga perlu dilakukan pengawasan. Pengawasan dilakukan terhadap kualitas sapi dan proses pemeliharaan sapi mitra juga perlu diperhatikan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penerapan quality control dan edukasi yang berkelanjutan. Sehingga kualitas sapi yang dihasilkan dari program kemitraan ini terjamin kualitasnya.

Pada “Bank Ternak” Sapi terpadu ini, akan terdapat pembudidayaan dan pengembangan produk sapi dan olahannya dalam sekala besar (massive). Baik itu sapi lokal, peranakan (BX) sampai sapi penghasil susu. Karena dari konsep tersebut akan menimbulkan added value (nilai tambah) dan used value (nilai kegunaan). Yakni added value berupa penghasilan dari petani lokal di sekitar kawasan terpadu ini menjadi meningkat karena mereka ikut berpatisipasi mengelola ternak sapi, serta dapat menjadi obyek wisata peternakan, dan lahan pembelajaran. Di samping itu, juga dapat menghasilkan susu sapi, sehingga ketergantungan terhadap susu sapi dapat diminimalisir. Serta untuk used value berupa sapi perah yang sudah tidak produktif lagi dapat digunakan untuk pedaging serta kotoran sapi dari peternakan dapat dimanfaatan untuk membuat pupuk organik dan biogas.

Penerapan ini memang membutuhkan investasi besar dan bersifat jangka panjang. Karena sifat investasinya besar dan jangka panjang tersebut, para investor tidak perlu merasa khawatir. Karena tren dari tahun ke tahun, angka konsumsi produk daging sapi dan turunannya terus meningkat. Hal tersebut didukung oleh data laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat setiap tahunnya yakni rata-rata sebesar 6% (BPS 2008). Sementara jumlah penduduk meningkat rata-rata 1,15% per tahun. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Indonesia mencapai ± 228,5 juta jiwa. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka diperkirakan kebutuhan konsumsi akan protein hewani, khususnya yang bersumber dari daging sapi juga akan meningkat.

Sehingga jika Grand Design “Bank Ternak” Sapi Terpadu, pada setiap region atau wilayah ini berjalan secara berkelanjutan dan didukung oleh para stakeholoder, seperti: pengusaha, pemerintah, dan masyarakat secara umum. Dapat dipastikan ketergantungan terhadap sapi impor dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Sehingga taget swasembada daging pada tahun 2014 dapat tercapai. Selain itu, dengan memanfaatkan ternak sapi perah dalam grand design ini, diharapkan juga pemenuhan akan susu yang saat ini masih didominasi oleh susu impor dapat diminimalisir. Serta penghasilan masyarakat khususnya petani lokal menjadi meningkat karena sistem kemitraan dan juga banyak menyerap tenaga kerja. Baik tenaga ahli (untuk pengembangan dan pengawasan) dan tenaga lapangan. Serta gairah ekonomi Indonesia menjadi meningkat karena banyaknya wirausaha dan tenaga kerja yang terserap pada bidang peternakan ini. Serta Indonesia menjadi negara agraris yang sebenarnya, tanpa harus bergantung dan takut akan penghentian pasokan, seperti penghentian suplai pasokan sapi impor. Salam Indonesia Jaya, Mandiri, Modern, dan Sejahtera.

Purwokerto, 2 Juni 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline