Sebuah perusahaan besar dan profesional berbasis di Indonesia, sedang menjalankan sebuah program besar yang ditujukan untuk: menjaga loyalitas pelanggan, memperkuat brand perusahaan, meningkatkan kemampuan para stafnya, dan tentunya menaikkan income perusahaan. Program besar tersebut, dijalankan oleh para staf perusahaan yang terdiri dari puluhan orang yang terbagi dalam beberapa tim kerja. Dengan maksud mempermudah pembagian dan pelaksanaan kerja di lapangan maupun konsepnya.
Persiapan pun dilakukan melalui perencanaan yang relatif cukup lama yakni sekitar 5 bulan. Program itu sendiri, merupakan program yang telah berjalan kesekian kalinya, tetapi memiliki konsep berbeda untuk setiap pelaksanaannya. Staf yang bergabung dalam tim tersebut pun, terdiri dari staf-staf senior dan junior, keberadaan staf senior disini bertujuan sebagai konsultan atau pendamping bagi junior-juniornya atau dalam ilmu manajemen sering disebut dengan program Knowledge Sharing yakni pendistribusian dan pendayagunaan sumberdaya internal perusahaan dalam hal ini dengan jalan pendampingan dan pembagian pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki ataupun diperoleh oleh para senior kepada para juniornya untuk kemajuan perusahaan. Sehingga akan terwujud sistem kaderisasi (tranfer ilmu) dan tercapainya peningkatan kinerja perusahaan kedepannya.
Program Knowledge Sharing atau pendampingan tersebut, pada awalnya berjalan cukup baik, tetapi karena ada kebiasaaan-kebiasaan negatif yang pada akhirnya membetuk suatu budaya, dimana mungkin sering menjangkiti kita semua, yakni budaya menyepelekan. Karena kerapkali dalam sebuah perusahaan besar sering terjangkit, dengan istilah sindrome melihat kebelakang atau melihat segala sesuatu (kesuksesan) yang sudah pernah dicapai sehingga seringkali menimbulkan jebakan uforia masa lalu dan berakibat pada penyepelean terhadap ketelitian ataupun inovasi dan lain halnya. Hal itu pun diperkuat oleh kebiasaan para senior yang kerapkali menganggap remeh pekerjaan yang sering ditekuninya, sehingga dari kebiasaan tersebut kemudian mempengaruhi pola kerja dan profesionalisme juniornya.
Maka pada proses mendekati pelaksanaan program tersebut, hampir sebagian besar para anggota tim tampak santai karena menganggap tugasnya telah selesai serta tidak terlalu berat atau bahkan telah cukup paham untuk menjalankan tugasnya karena tidak ada tantangan berarti padahal pekerjaan tersebut membutuhkan kecermatan dan keseriusan yang berkelanjutan. Sehingga pada saat pelaksaan program besar tersebut, terjadilah sebuah kekacauan dari kesalahan kecil tetapi sangat fatal dan sistemik terhadap kelancaran serta citra dan profesionalisme perusahaan besar tersebut. Sehingga tujuan awal dari program tersebut dilaksanakan, yakni: untuk menjaga loyalitas pelanggan, memperkuat brand perusahaan, meningkatkan kemampuan para stafnya, dan tentunya menaikkan income perusahaan tersebut. Malah yang terjadi ialah sebaliknya, pelanggan merasa kecewa karena program yang dijalankan berantakan dan banyak dari pelanggan setia perusahaan tersebut mengecam program rutin tersebut dan bahkan akan pindah ke pesaing perusahaan, sehingga anggota tim khususnya para junior pun terlihat shock dan terdiam karena belum siap menerima kecaman ataupun pertentangan dari para pelanggan.
Disamping itu, brand perusahaan pun terguncang dari kondisi tersebut. Padahal penyebab kesalahan tersebut, karena kecerobahan kecil daripada satu buah tim kerja. Tetapi para pelanggan tidak mau peduli, pelanggan hanya melihat bahwa perusahaanlah yang melakukan kesalahan tersebut. Untung saja para senior dalam tim tersebut, dapat meredam pergolakan yang terjadi, tetapi kondisi tersebut seharunya dapat pula dicegah oleh para senior, sebelum masalah kecil yang berdampak besar itu muncul.
Di atas merupakan ilustrasi, dimana sebuah kondisi yang sering atau acapkali kita temui, tidak hanya pada perusahaan besar saja tetapi pada seluruh level perusahaan ataupun pada bidang lainnya. Kita sering terjebak pada suatu kebiasaaan-kebiasaan negatif yakni suka menyepelekan atau meremehkan sesuatu. Dimana dari kebiasaan tersebut, akan tebentuk suatu budaya yang dapat mengganggu dan bahkan menghancurkan nama baik perusahaan dalam sekejap. Padahal nama baik tersebut, telah dibangun dengan proses yang cukup lama dan panjang.
Untuk kasus perusahaan di atas, budaya menyepelekan sesuatu tampaknya sudah cukup kompleks menjangkiti perilaku para senior dan dimana juga mempengaruhi sikap dan perilaku para juniornya. Dari sebuah kesalahan kecil, yang seharusnya dapat diminimalisir ataupun dicegah dengan persiapan yang relatif matang dan terencana, tetapi karena budaya yang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan menyepelekan sesuatu, baik itu dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Sehingga dari penjelasan tersebut, kita dapat menarik pembelajaran guna mencegah kondisi di atas terjadi. Untuk setiap perusahaan besar maupun kecil, ketika sedang ataupun telah memasuki fase perusahaan profesional dan mememiliki nama (brand) cukup kuat, sebaiknya tetap dan selalu memperhatikan setiap detail dari konsep maupun teknis suatu program maupun produk dan pelayanan secara berkelanjutan dan terencana, dengan menerapkan quality control (pengawasan kualitas barang dan jasa) atau pengawasan yang berkelanjutan dari pihak supervisor ataupun ketua tim.
Pada akhirnya, akan terbentuk suatu budaya porfesional yang terus maju, kreatif, kritis, dan teliti terhadap detail dalam segala hal. Selain itu, kita juga harus melihat ke depan dan jangan terjebak pada pandangan ke belakang, yakni terhanyut dalam kesuksesan masa lalu dimana hal ini sering menjangkiti perusahaan ataupun organisasi yang telah tumbuh besar dan stabil. Dimana hal tersebut, akan memicu kebiasaaan-kebiasaan yang akan menjadi suatu budaya meneyepelekan. Karena pada kondisi saat ini, tingkat persaingan yang semakin kompetitif dan pelanggan semakin kritis atau cerdas, sehingga sedikit saja suatu kesalahan, nama atau citra perusahaan dapat terganggu dan bahkan para pelanggan dapat memboikot produk maupun program perusahaan serta yang terburuk lagi, pelanggan akan pindah ke para pesaing perusahaan dan akan menyebarkan pengalaman buruknya ke orang lain. Maka dari itu, kita harus terus belajar, berpikir maju, melakukan perencanaan yang baik dan tentunya pengawasan yang berkelanjutan. Salam kemajuan dan pembelajaran berkelanjutan.
Jalan Kampus, 28 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H