Lihat ke Halaman Asli

No name

Nothing

Asalnya Taman Nasional Wakatobi (1)

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesia telah mengenal konservasi sejak lama, bahkan sebelum berada dalam kependudukan Belanda. Adanya larangan penggunaan Lubuk di Aceh, Mane’e di Sulawesi, Sasi di Papua dan Maluku, serta bukti lainnya yang menandakan masyarakat Indonesia sejak dahulu secara turun menurun telah memanfaatkan sumberdaya alam sekitar dengan arif.  Pada tahun 1714 sejarah konservasi Indonesia telah dimulai, ketika seorang tuan tanah dari Belanda Cornelis Chanstelein mendonasikan tanahnya di daerah Banten untuk dijadikan Cagar Biosfer.

Hal tersebut berlanjut hingga pada tahun 1913, dibawah pimpinan Dr. S.H. Koorders, Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda mengajukan 12 kawasan untuk menjadi kawasan perlindungan lalu pada tahun 1920 dalam bidang konservasi perairan, keluar Staatsblad No. 396 dalam rangka melindungi sumberdaya perikanan dan melarang penangkapan ikan dengan bahan beracun, obat bius, dan bahan peledak.

Pada tahun 1971 sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap perlindungan alam maka dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dibawah Departemen Pertanian. Selama kurun waktu 1974 - 1983, pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari FAO untuk mengelola Program Pengembangan Taman Nasional dan dalam rentang waktu tersebut, pemerintah meresmikan 10 Taman Nasional baru. Selain itu terbentuk pula Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, kini disebut dengan Kementerian Kehutanan (2009).

Merilis Sistem Kawasan Pelestarian Bahari Nasional yang berisi kerangka kerja bagi berbagai aktifitas perlindungan perairan, dasar-dasar pemilihan dan penetapannya, serta daerah-daerah prioritas pengembangan daerah konservasi laut adalah langkah besar yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan pada tahun 1984.

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendapat dukungan secara hukum dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1990, yang mengatur seluruh aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem.  Menurut peraturan ini, konservasi dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini juga mengubah paradigma pelestarian yang hanya bertumpu pada pencadangan area menjadi konservasi ekosistem, spesies, dan genetik.

Pengembangan kawasan konservasi perairan yang diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan terus berkembang, hingga tahun 2009 Indonesia telah memiliki lebih dari 4,69 juta Ha yang masuk dalam 32 kawasan konservasi, tujuh diantaranya sebagai taman nasional yaitu Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Teluk Cenderawasih, Bunaken, Wakatobi, Takabonerate dan Togean.

Survey potensi sumberdaya yang dilakukan Ditjen PHPA (1987), serta didukung hasil riset dan penelitian melalui Operasi Baruna dan Cenderawasih  (1957). Selain itu, Alfred Russel Wallace seorang peneliti dari Inggris melakukan penjelajahan di wilayah Sulawesi dan Maluku pada tahun 1856, 1857 dan 1859. Ketiganya sama mendapati bahwa biodiversitas kawasan Sulawesi termasuk Wakatobi sangat tinggi dan memiliki spesies endemic yang tidak dapat ditemukan di kepulauan lainnya, Perairan di Kepulauan Wakatobi juga memiliki keanekaragaman terumbu karang dan jenis biota laut lain khususnya ikan tertinggi di dunia. Atas dasar itulah maka kemudian wilayah Wakatobi pada tahun 1996 ditunjuk oleh pemerintah sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan penetapannya dilakukan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 yang meliputi kawasan seluas ± 1,39 juta hektar termasuk kawasan perairan dan seluruh kawasan daratan pulau-pulau yang ada di wilayah ini.

Tujuan penetapan taman nasional ini adalah terjaminnya sistem penyangga kehidupan untuk pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) sebagai perwakilan ekosistem wilayah ekologi perairan laut Banda-Flores (Banda Flores Marine Eco-region), menjamin terwujudnya pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan (sustainable development) terutama dari sector perikanan dan pariwisata, serta menjamin tersedianya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat setempat. Sebagai tindak lanjut dari penetapan wilayah ini menjadi taman nasional dan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaannya, maka pada tahun 1998 telah disusun Rencana Pengelolaan (RPTN-TNKW) yang berjangka waktu 25 tahun (1998 s/d 2023).

Selama kurun waktu 17 tahun pengelolaan yang telah dilakukan Taman Nasional Wakatobi, berbagai kegiatan yang didasarkan atas fungsinya, yaitu: 1). Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional; 2). Pengelolaan kawasan  taman nasional; 3). Penyidikan, perlindungan dan  pengamanan, kawasan taman nasional; 4). Pengendalian kebakaran hutan; 5). Promosi, informasi KSDAH&E Promosi; 6). Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan KSDA & E; 7). Kerjasama pengembangan KSDAH & E serta pengembangan kemitraan; 8). Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; 9). Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; 10). Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline