Figur perempuan itu meletakkan tangan di pundaknya sendiri, seolah menanggungkan beban. Rambutnya yang memutih terikat ke belakang dengan sisa-sisa menjuntai di kedua sisi wajah. Kantung matanya yang menebal, dahinya berkerut, tak ada senyum berjejak pada guratan wajah itu. Pada bagian kanan atas lukisan, terdapat tulisan dalam aksara Sunda "Pileuleuyan Ibu", yang artinya "Selamat tinggal Ibu".
Itulah salah satu lukisan Affandi (1909-1990) yang paling terkenal, berjudul Ibuku dilukis pada 1941. Sapuan kuas dan detail-detail tajam yang membangun sosok sang ibunda dan menangkap kompleksitas emosinya. Di awal kariernya, Affandi dikenal mahir melukis potret naturalis-realistik. Lukisan tersebut lahir sebagai wujud kerinduan kepada ibunya yang ia tinggalkan Bandung untuk merantau ke Bali demi belajar melukis. Saat itu belum umum seorang pelukis dari tanah Jawa untuk tinggal di Bali.
Lukisan cat minyak pada kanvas berukuran 32 x 42 cm ini merupakan salah satu dari karya awal yang diakusisi menjadi koleksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1948, kini menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia dan menjadi salah satu yang dipamerkan pada Alam, Ruang, Manusia : Pameran Imersif Affandi yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (Gedung A), 26 Oktober-26 November 2020, pukul 10-17. Pameran ini diselenggarakan sebagai bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2020 yang bertema Penguatan Tubuh Masyarakat.
Karya-karya Affandi dapat dinikmati dalam sajian proyeksi gambar bergerak (video projection) dengan iringan musik dan suara yang menyuguhkan pengalaman imersif pengunjung dalam "memasuki" dunia lukisannya. Sejumlah lukisan Affandi koleksi Galeri Nasional Indonesia yang merepresentasikan perjalanan artistiknya dari periode 1940-an sampai dengan 1970-an juga dapat kita nikmati. Kurator pameran ini, Bayu Genia Krishbie telah bekerja di Galeri Nasional Indonesia sejak 2010 dan kerap terlibat dalam berbagai pameran dan program internasional, antara lain di Filipina, Thailand dan Jepang.
"Kisah Affandi adalah kisah tentang daya hidup, kerja keras, dan terus melangkah maju. Bercermin pada filosofi hidupnya yang dikenal dengan simbolisme 'matahari, tangan, dan kaki, Suatu inspirasi yang kita butuhkan saat ini, " tutur Bayu.
Karya-karya pameran ini dirangkai dalam tiga kerangka tema besar. Pertama, tentang alam, menampilkan observasi Affandi pada objek-objek di alam seperti flora, fauna, dan lanskap. Kedua, tentang ruang, menyajikan karya-karya Affandi yang merekam tangkapan visual suasana di ruang publik, ruang privat, dan objek-objek arsitektural. Ketiga, tentang manusia, menyuguhkan karya-karya potret, aktivitas manusia, dan keberpihakan Affandi pada kemanusiaan.
Jika di awal kariernya di 1940an, Affandi banyak melukis dengan gaya naturalis-realistik, pada 1960an ia banyak bermain dengan gaya figuratif. Namun meski berbeda pendekatan, minatnya untuk melukis wajah manusia dengan segenap ekspresinya tak pernah surut, baik orang lain maupun diri sendiri. Jika sedang tak punya subjek sebagai referensi, ia lantas menggambar wajah sendiri. Tentang menggambar wajah sendiri, ada catatan menarik yang pernah ditulisnya tentang lukisan berjudul Oongkol (1946).
"Pernah terdjadi, bahwa saja beberapa bulan tidak bisa melukis, walaupun tiap pagi saja pergi untuk melukis. Pada suatu hari saja pulang kerumah dengan tangan hampa, tidak dapat lukisan. Merasa marah dongkol, sekonjong-konjong lihat dalam katja muka saja sendiri dengan expressi dongkol ini. Itu waktu djuga lukisan dibikin. Aneh, berbulan2 tidak dapat motiet, sekonjong motiet dekat sekali, muka sendiri"
Cara melukis Affandi yang unik mencuri perhatian publik internasional dengan teknik plototan atau menuangkan langsung cat minyak dari tube ke atas kanvas dan membentuknya dengan jari-jari tangan. Ia menyatukan dirinya dengan kanvas dan objek lukisan, kemudian meluapkan emosinya dalam suatu periode melukis spontan yang cepat. Setiap waktu, Affandi seolah melukis dengan segenap dirinya. Para kritikus Barat menyebut lukisan-lukisannya ekspresionisme baru. Namun Affandi cenderung menolaknya, dan menyebut diri sebagai seorang humanis.
"Artinya saya melukis berdasarkan perikemanusiaan. Bagi saya sebutan seniman itu terlalu tinggi. Sebut saja saya tukang gambar atau lebih baik lagi, manusia saja, " ujar Affandi suatu ketika.
Affandi adalah sang empu, tokoh penting dalam dunia seni rupa modern Indonesia, juga dunia. Mengamati perkembangan karyanya adalah juga memahami proses modernisasi Indonesia di awal abad ke-20. Perjalanan kesenimanan Affandi melintasi rentang waktu yang panjang. Dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, pascakemerdekaan Republik Indonesia, Orde Lama, hingga Orde Baru.