Lihat ke Halaman Asli

Feby Indirani

Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Tragedi Jumat Siang

Diperbarui: 28 November 2016   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Denyut jantungnya berdebum seperti bedug. Matanya yang terpaku pada jalan sempat menyipit silau akibat teriknya siang itu. Ahmad mengendalikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sejak 30 menit lalu ia memulainya, namun saat ini jalanan yang dilaluinya mulai padat. Brengsek, ia merutuki keterlambatannya. Tapi waktu tak bisa diputar ulang.

Seharusnya ia berangkat lebih awal. Ini Jumat siang di kotanya, dan jalan akan mulai padat bahkan sebelum waktu makan siang. Jumat adalah hari yang pendek, begitu sebagian orang menyebutnya. Terlambat bergerak hanya dalam selisih 10-15 menit saja bisa menimbulkan perbedaan waktu tiba yang signifikan di tempat tujuan. Orang-orang di kota ini tahu benar konsekuensi selisih waktu tersebut. Dan sekarang Ahmad harus menelan konsekuensi itu.

Keringat membasahi dahinya yang terpapar matahari. Rambutnya yang ikal jadi lepek dan lengket Tangan kirinya memutar tombol pendingin hingga maksimal. Harus sampai tepat waktu, pikirnya. Aku tidak bisa terlambat. Ahmad membuka kancing atas kemejanya, dan menggulung kedua lengan bajunya.   Di hadapannya berlalu lalang sepeda motor, yang menyelip ke sana kemari, bertebaran seperti lalat yang gesit. Andai aku mengendarai motor saja, pikirnya. Tapi waktu tidak bisa diputar ulang.

Mobilnya masih dapat merayap perlahan, ada sumbatan jalan karena dari tiga lajur kemudian harus menyempit ke satu jalan yang lebih sempit. Namun setelah jalan ini, Ahmad memperhitungkan jalannya akan lebih lancar. Ia tidak boleh terlambat.

Sesudah melampau jalan utama yang lempang dan sibuk, Ahmad akhirnya berbelok. Namun baru 200 meter ditempuhnya, terlihat bangku kayu panjang melintang di tengah jalan. Ahmad memukul stirnya. Dari kaca spion depan dilihatnya ada mobil lain senasib dengan dirinya. Seorang pria bertopi dan berkaos putih kusam melambai-lambaikan tangan, gerakan menyuruh mereka pergi. Usianya paling 50-an, dengan muka kehitaman dan kulit yang kering menandakan aktivitasnya yang terlalu sering berada di ruang terbuka. Mungkin seorang hansip atau tukang parkir. Ahmad membuka jendela mobil, masih berusaha bersikap sopan. 

“Ada sholat Jumat, putar arah lain saja “ serunya.

“Ini jalan paling cepat ke tujuan saya,”  ujar Ahmad, menekan nada suaranya sedapat mungkin agar tidak kedengaran kesal.

“Nggak bisa Mas,  jalan ini ditutup karena ada sholat Jumat. Silakan cari jalan lain. “

“Bapak, tolong jangan persulit saya. Tolong sekali Pak..”

“Ya nggak bisa Mas, emang urusan Mas apa sih sampai lebih penting daripada ibadah?”

“Aduh urusan penting itu kan bukan hanya ibadah Pak, tolong Pak, saya diburu waktu sekali.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline