Lihat ke Halaman Asli

Feby Indirani

Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Seni Menulis Kisah Hidup 'Bukan Tokoh'

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis kisah hidup ‘bukan tokoh’ memang merupakan tantangan tersendiri.Salah satunya, penulis biasanya akan disibukkan menjawab pertanyaan ‘kenapa’ dari banyak orang. Setidaknya itu yang pernah saya alami ketika menulis I Can (not) Hear (Gagasmedia,2009) dan Alien Itu Memilihku (Gramedia Pustaka Utama, 2014)

Jika orang yang ditulis adalah tokoh atau selebriti, orang biasanya tidak banyak bertanya. Kenapa? Karena dia sudah terkenal, baik di mata masyarakat luas maupun di bidangnya masing-masing.Penulis tidak perlu lagi ‘memperkenalkan ‘ sang narasumber kepada publik. Selain itu seseorang yang terkenal biasanya melakukan sejumlah hal yang luar biasa atau berbeda dari kebanyakan orang sehingga dia bisa terkenal dan karenanya banyak hal yang bisa digali dari sana. Kalaupun sebenarnya prestasinya biasa-biasa saja, minimal dia --sadar atau tidak—telah melakukan sejumlah cara agar ia bisa terkenal, meskipun karyanya mungkin tidak lebih baik daripada orang lain di bidang yang sama. (Kita tentu bisa berdebat tentang ini)

Lalu bagaimana jika narasumber yang hendak ditulis tidak terkenal? Biasanya pilihan berikutnya adalah menggali kisah yang sangat dramatis dari hidupnya.

Seperti apakah yang dramatis itu? Mungkin kira-kira seperti sinetron drama serial yang masih menjadi tontonan yang digemari sebagian masyarakat kita. Biasanya semakin parah musibah yang dialami protagonisnya, kian keji dan kejam kelakuan antagonisnya, kian banyak kesialan yang bertubi-tubi menimpa tokoh utama semakin sinetron itu dinanti-nantikan. Padahal si protagonis ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga, rumahnya rubuh, ada angin ribut, badai, gempa, lalu digulung tsunami.Tapi cerita begini akan mampu menguras air mata penonton, membangkitkan emosi kemarahan dan rasa simpati serta tentunya membuat rating melonjak.

Mungkin sadar tidak sadar, saya dan juga banyak orang lainnya memiliki standar drama seperti itu. Kisah hidup yang bagus ditulis haruslah yang bisa membuat orang menangis dan emosional atau sangat heroik. Sosok dalam cerita haruslah supermenderita. Atau ia telah berhasil bangkit dari keterpurukan dan memiliki pencapaian yang sangat besar. Memang selalu lebih mudah untuk bermain pada titik-titik ekstrem seperti ini.

Lalu bagaimana kalau kisah hidup narasumber yang Anda hadapi ternyata tidak seperti sinetron drama serial? Bukan orang terkenal dan perjalanan hidupnya pun tidak sedramatis sinetron. Apakah berarti kemudian kisah itu tidak bisa dituliskan?

Bagi saya kasus seperti ini justru menjadi tantangan kreativitas. Bagaimana menuturkan suatu kisah yang menarik meskipun tidak melodramatis. Bagaimana menggali value yang dimiliki oleh narasumber itu, yang bisa jadi belum menyadari apa yang dimilikinya. Bagaimana menuliskan kejadian yang mungkin biasa saja bahkan klise bagi banyak orang, dengan cara yang baru dan mengikat pembaca.Bagaimana memberikan pemaknaan yang mendalam bagi suatu peristiwa.

Semua itu adalah tantangan bagi para penulis nonfiksi kreatif, yang bertugas menuturkan kejadian nyata dengan cara terbaik yang bisa dilakukan. Kreatif bukan berarti bisa mengada-ngadakan fakta. Kami tidak bisa menciptakan kejadian yang heboh semata untuk memperkuat alur cerita. Kami tidak bisa terlampau berlebih-lebihan dalam mengisahkan suatu peristiwa karena pelaku-pelakunya nyata dan bisa protes sewaktu-waktu. Tapi kami juga tidak bisa menceritakan dengan datar seperti menulis berita, karena berarti pembaca akan langsung menutup buku begitu saja.

Itulah sebagian tantangan saya ketika menulis Alien itu Memilihku. Mbak Indah, begitu saya memanggilnya, bukanlah seorang figur publik. Pengalaman hidupnya bukan bak sinetron yang berada pada titik-titik ekstrem. Ya, sejujurnya ini adalah proses yang menantang untuk saya. Tapi sebagai penulis kreatif, saya menjadikan kasus ini sebagai ladang mengasah kemampuan.

Saya percaya setiap individumemiliki kisah berharga dan punya nilai yang bisa dibagi kepada orang lain. Namun ada syarat yang tidak bisa ditawar :narasumber harus berani mengungkapkan dirinya dengan jujur dan apa adanya. Ia harus siap ditulis sebagai orang yang tidak melulu sempurna, tapi juga punya kekurangan dan kecenderungan negatif.

Percayalah. Tidak semua orang akan memiliki keberanian seperti itu.

Sepanjang karier saya sebagai wartawan dan penulis, sayapernah mewawancarai ratusan narasumber, mulai dari akademisi, pebisnis, pejabat negara, artis, selebriti, dan banyak lagi. Tak jarang saya mesti menulis profil mereka, baik dalam tulisan pendek seperti artikel maupun tulisan panjang hingga buku. Suatu ketikasaya pernah mewawancarai seorang tokoh yang ingin menuangkan pengalaman berkariernya. Tujuannya agar orang lain yang mau terjun ke dalam bidang tersebut bisa belajar darinya.Masalah yang pernah dialamisang tokoh dan cara mengatasinya tentunya bisa menjadi pembelajaran bagi para pemula.

Bidang yang ditekuni sang tokoh terkenal sangat kompetitif. Para pemula mungkin ibaratnya seorang petualang yang siap masuk hutan belantara dan tidak tahu kapan ekornya diintai harimau atau bila sengatan kalajengking tiba-tiba menghampirinya. Maka saya pun mengajukan pertanyaan, “Bagaimana menghadapi persaingan di bidang ini? Bisakah Anda menceritakan pengalaman Anda saat menjadi pemula dan harus berhadapan dengan kompetisi yang begitu keras? “

Dia menjawab. “Saya membaca buku The Secret ya. Jadi di situ dikatakan tidak ada yang namanya persaingan. “

Kemudian selesai. Dia menolak menjawab pertanyaan itu lebih jauh. Alih-alih menceritakan kisah sejatinya, dan berisiko untuk terlihat lemah atau buruk dia memilih menjawab dengan tatanan ideal yang didapatnya dari buku The Secret.

Ya karena mungkin saja dia pernah menjadi si petualang, harimau, kalajengkingatau ketiganya sekaligus.

Narasumber seperti inilah yang membuat saya, ataupun banyak penulis lainnya mati kutu. Kalaupun tulisan jadi, hasilnya biasanya akan hanya berada pada tataran permukaan. Tidak akan bisa menjadi tulisan yang menggugah ataupun menggerakkan pembaca, mengusik kenyamanan, membuat pembaca berpikir ulang dan menguji batas-batas normatif yang ditetapkannya sendiri. Saya biasanya tidak puas membaca tulisan seperti ini, dan juga tidak akan puas menuliskannya.

Untungnya, Indah Melati Setiawan adalah narasumber yang jujur dan berani memunculkan sisi dirinya yang lemah, negatif, dan tidak selalu sempurna. Giliransaya sebagai penulis yang mesti tekun dan kreatif menggali sisi-sisi menarik dari hidupnya.

Namun ternyata karena kejujuran itu Indah harus berhadapan dengan protes dan celaan dari sebagian orang-orang dekatnya.

(tulisan bersambung ke Risiko Keberanian Indah)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline