Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi: Tak Kreatif Membangun Ekonomi Kreatif

Diperbarui: 3 Februari 2016   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kepada YTh.

Bapak Presiden Republik Indonesia
Ir. Joko Widodo
di
Tempat

Dengan Hormat

Saya melihat rencana pembukaan investasi asing untuk sektor perfilman tampaknya telah diputuskan sebelum dikaji. Kemendikbud sebagai penanggung jawab sektor dan pelaku usaha yang diperkirakan akan menentang rencana ini tidak disertakan dalam proses pembuatan kebijakan. Pada tahap akhir baru mereka diminta bicara untuk memenuhi formalitas pembahasan, namun 'keputusan' sudah dibuat.

Pertanyaan saya adalah, apa yang hendak dicapai dengan pembukaan DNI perfilman? Dalam banyak kesempatan, BEKRAF dan APROFI sebagai inisiator atau setidaknya pendukung utama kebijakan ini selalu menyuarakan kurangnya jumlah layar bioskop di tanah air yang kemudian mempersempit pasar film nasional dan akhirnya membuat perfilman nasional tidak berkembang baik. Masalah ini akan selesai dengan masuknya investor asing yang akan membuka ribuan layar bioskop di seluruh pelosok tanah air dan sekaligus membiayai produksi film nasional berkualitas. Hasilnya, akses rakyat Indonesia ke bioskop akan terbuka lebar, produksi film akan meningkat kuantitas dan kualitasnya, dan nilai budaya nasional tetap terlindungi dengan kuota tayang 60% untuk film nasional.

Saya juga melihat setidaknya ada tiga kesesatan pikir terlihat dalam argumentasi pembukaan DNI ini.

Pertama, bahwa Indonesia kekurangan layar bioskop dibandingkan dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa. Perbandingan jumlah penduduk dan jumlah layar bioskop tidaklah mungkin dilakukan tanpa memperhatikan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat. Bioskop bukan hiburan gratis. Penonton perlu membelanjakan uangnya untuk tiket bioskop. Membandingkan rasio layar terhadap populasi Indonesia dengan Korea Selatan, Perancis dan negara maju lainnya adalah pembalikan terhadap hukum permintaan dan pasokan yang berlaku di pasar. Apakah sudah pernah dihitung tingkat hunian rata-rata (occupancy rate) bioskop Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut? Dengan total perolehan penonton per tahun sebesar 90 juta dan total jumlah kursi per pertunjukan sebesar 306 juta, maka tingkat hunian rata-rata bioskop kita belum juga mencapai 30 persen. Bandingkan dengan tingkat hunian rata-rata Korea Selatan yang telah melebihi 50 persen. Dalam situasi ini, kebijakan menambah jumlah layar bioskop sama saja dengan mematikan bioskop yang sudah ada.

Kedua, peningkatan kuantitas dan kualitas produksi film nasional melalui investasi asing. Apakah Korea, Cina dan India yang telah terbukti berhasil mengangkat industri perfilmannya juga dibantu oleh invesatasi asing dalam berproduksi? Jawabnya tidak, Pak Presiden! Produksi film berkualitas jelas memerlukan investasi yang tidak kecil. Namun, investasi bukan segalanya dalam produksi film. Kekuatan cerita, ketrampilan akting dan penggarapan skenario justru menjadi kekuatan tak ternilai dari sebuah film. Kecenderungan oknum sineas kita yang memproduksi film dengan sistem borongan dan menekan biaya produksi serendah-rendahnya telah membuat proses kreatif produksi film menjadi fabrikasi film. Justru oknum-oknum inilah yang paling lantang berteriak meminta supaya DNI dibuka untuk asing. Proses ini terjadi karena adanya 'jaminan' kuota 60% dalam UU Perfilman kita. Sekali lagi maksud baik untuk melindungi perfilman nasional justru disalahgunakan oleh kepentingan jangka pendek yang 'membunuh' industri perfilman kita. Hal yang sama yang telah terjadi di Malaysia dan sedang dibenahi saat ini.

Film kita telah membuktikan menguasai 56% pangsa pasar penonton pada tahun 2008. Ini bukti tak terbantahkan bahwa film nasional tetap punya kesempatan yang sama dengan film lain untuk merebut hati penonton. Bila hal ini tidak terjadi sekarang, hanya pembuat film lah yang harus introspeksi diri karena penonton adalah pasar yang bekerja menurut dalilnya sendiri. Apakah investasi asing akan mengeliminasi 'film-film borongan' ? Tidak, selama masih ada 'jaminan' kuota tayang. Investasi asing dalam produksi justru akan mengambil keuntungan dari regulasi kuota tayang karena film produksi mereka juga berhak mendapatkan kuota tayang.

Ketiga, pemikiran paling mendasar yang menjadi titik tolak kebijakan pembukaan DNI perfilman adalah asumsi bahwa investasi asing akan datang membantu kita membangun industri perfilman. Sungguh pola pikir yang menyederhanakan masalah karena menganggap investor asing sebagai penolong industri perfilman kita. Negara-negara yang industri perfilmannya sudah maju justru menunjukkan bahwa kemajuan itu dapat dicapai bila produknya telah berhasil melakukan penetrasi ke pasar luar negeri. Paradigma pembangunan perfilman nasional sebaiknya diarahkan untuk berdikari dan memperluas pasar ke luar negeri, bukan sebaliknya membuka pasar domestik dengan harapan dibantu oleh asing. Investasi asing di sektor perfilman dapat saja dibuka, tetapi itu dilakukan secara resiprokal pada saat film indonesia masuk ke pasar luar negeri.

Langkah pembukaan DNI perfilman adalah 'point of no return', sekali diambil tidak dapat dikembalikan lagi. Jangan sampai kebijakan ini kelak dikenang sebagai langkah tak kreatif dalam membangun ekonomi kreatif. Hanya karena keinginan segelintir orang untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline