Lihat ke Halaman Asli

Selama di Ruang Tunggu Rumah Sakit

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1352042017730106163

[caption id="attachment_214707" align="alignleft" width="552" caption="Lambang Mower County Public Health "][/caption] Bekerja di bagian pelayanan rumah sakit dan menjadi seorang pasien dalam waktu yang bersamaan adalah... menyebalkan. Harus menghadapi teori dengan realitas di rumah sakit, yang sangat jauh berbeda membuat hati saya miris sendiri. Buku, teori, undang-undang kesehatan yang ketahui dan saya baca selama ini tidak terlihat dalam pelayanan rumah sakit di Indonesia. Bukan satu atau dua rumah sakit yang saya lihat rasanya kok ya...lebih membuat pasien sakit daripada pasien sehat. Katanya sih udah rahasia umum, makanya banyak pasien Indonesia berobat ke luar negeri, daripada negeri sendiri. Duduk berjam-jam dengan tangan digips tiba-tiba menjadi rutinitas yang tidak bisa ditawar. Layaknya orang sakit lainnya, rutinitas saya berubah 180 derajat. Yang biasanya aktif dan mandiri, berubah menjadi tergantung pada orang lain dan terbatasi. Saat itu saya benar-benar merasakan harga mahal yang harus saya keluarkan untuk kesehatan saya--meliputi kebebasan dan kemandirian. Akibat kecelakaan yang saya alami sebulan yang lalu, saya mengalami patah di tulang tangan kanan. Patahnya memang tidak panjang dan terlalu parah, tapi tetap saja kalau sudah namanya patah tulang minimal tangan harus diistirahatkan hingga tulang bersatu dengan baik kembali. Proses yang tidak sebentar dan membutuhkan kesabaran serta ketelatenan. Seperti kebanyakan orang sakit pula, saya merasa kesal duduk di ruang tunggu pasien ini.  Pada saat kedatangan pertama, saya masih merasa biasa saja, lama kelamaan saya kesal segalanya. SEGALANYA. Dimulai dari keadaan saya sampai staf rumah sakit yang ternyata tidak seramah iklan dan semboyan mereka. Menyebalkan ternyata jadi orang sakit. Sama sekali tidak seperti yang saya lihat di acara televisi favorit saya, Grey's Anatomy atau Scrub. *Ya menurut ngana?* " Bukan Obat Yang Menyembuhkan, Tapi Kebaikan Hati" Dari ruang tunggu ini saya belajar banyak hal, kadang staf rumah sakit melihat pasien bukan sebagai orang yang membutuhkan pertolongan. Masih sangat membekas di kepala saya, di hari kecelakaan saya. Dalam keadaan sangat ketakutan dan kesakitan, saya dibawa masuk ke UGD. Saya ingat sekali, karena saya terus menangis, suster menawarkan memberikan anti nyeri. Saya tolak, karena yang membuat saya nangis bukan karena sakit akibat kecelakaan, tapi kenyataan bahwa saya tidak akan bisa menulis dalam waktu yang lama. Waktu itu saya sedang persiapan memasukan aplikasi beasiswa ke Amerika. Apa daya, kecelakaan ini membuat saya harus menunda beberapa seleksi beasiswa bahkan ujian bahasa yang sudah saya bayar. Wajar kan saya menangis terisak-isak di ruang UGD mengingat kesempatan yang lenyap begitu saja? Mau curhat sama susternya juga ga mungkin, ntar malah dia balas, "Terus saya harus bilang WOW, gitu?". Ternyata dugaan saya bener, susternya kurang terampil menangani pasien yang "galau" seperti saya. Sehabis saya tolak suntikan pereda nyeri, dia bilang " Ya udah kalau ga mau dikasih pereda nyeri, sakitnya ditahan sendiri ya", dengan nada super jutek. Hyuk mari. Itu baru satu dari rangkaian pelayanan yang sangat tidak profesional yang saya dapati hari itu. Saya fikir, mungkin mbak susternya sedang capek seharian ngurusin pasien makanya jutek ke saya. Terus saya intip ke ruang di seberang tempat tidur saya, eh doski sedang ketawa-ketiwi sama suster lain. "Ok. She might have thougt i overreacted". I said to myself. Setelah menunggu sekitar 30 menit, akhirnya saya dibawa ke ruang radiologi. Selama perjalanan dari UGD menuju radiologi, saya menangis. Bukan karena sakit, tapi karena saya teringat kesempatan ke Amerika yang akan saya lewatkan. Rasanya itu kayak kehilangan duit 1 milliar. Bedanya kalo beneran saya hilang 1 milliar, kayaknya saya bakal gila deh. Bukan cuma nangis-nangis galau begini. Anyway, di dalam ruang radiologi ketemu lagi sama si mba suster jutek. Hakjes! She knew exactly i rejected the pain killer injection, but she asked me in such an inconvenient way to MOVE my broken hand. I was so speechless. I stared at the male nurse, he understood i couldn't move my hand so he helped me. Even after the x-rayed, she still asked me to move my hand by myself. She said," Tangannya dipindahkan ya. Nanti nabrak pintu," in such an unpleasent way. I almost burst into tears at that point. I just got an accident, i feel so depressed and she treated me like a pain in the ass. Luckily, the male nurse gave me a very pleasant favor. He helped me to move my hand. As  a patient, i didn't ask much. I just wish she would treat me like a human-being. A creature with a soul, with a feeling. It's not the medication that made me feel better that day, it was the kindness of the male nurse. Pelayanan Kesehatan Yang Memihak Pasien Sembari menulis, saya teringat dengan rencana pemerintah menerapkan UU SJSN di awal tahun 2014 nanti. By the way, have any of you who read this, also read the UU SJSN? If not, please you can find more information about it here and here . Cita-cita mewujudkan rakyat Indonesia terlindungi oleh perlindungan kesehatan yang adil "equitable" serta "affordable"  di tahun 2014 tampaknya memang terdengar sangat muluk jika kapabilitas serta perilaku penyedia layanan kesehatan publik masih seperti suster jutek tadi. Ya ga akan terwujud namanya universal health care dengan penerapan primary health care yang sangat pro pasien itu  kalau sistem serta pelaku layanan institusi kesehatan publik masih sangat hospitalsentris seperti itu. Rumah sakit masih memegang erat kekuasaan sehingga pasien berada dalam posisi yang lemah. Tidak memiliki kemampuan melawan. Sehingga relasi antara pasien-dokter-manajemen rumah sakit pun sangat rentan dan penuh resiko. Relasi yang rentan tersebut akhirnya melahirkan praktik dokter defensif, sehingga layanan kesehatan yang diberikan berlebihan dan malah tidak diperlukan karena dari pihak dokter khawatir dituntut karena malpraktik. Dari pasien juga yang udah kesel sama pihak manajemen rumah sakit yang dirasa udah bayar mahal-mahal, pelayanan ga oke, yang sakit ga sembuh-sembuh, ga punya tempat mengadu, mencuatlah tragedi "Prita". Hyuk, saya menyebut itu tragedi daripada kasus. Pihak rumah sakit merasa dirugikan dengan curhatan Prita di media sosial, akhirnya menuntut balik. Hiya, malah belakangan ketahuan kalo anggota pengadilan tempat kasus Prita disidangkan malah mendapat servis medis cuma-cuma. Hadeh. *facepalm*. Tragedi Prita bukan yang  pertama atau yang terakhir, jika berkaitan dengan jeleknya kualitas komunikasi antara dokter-pasien --manajemen rumah sakit. Di luar sana pasti ada Prita -prita lain. Mungkin saja mereka tidak punya email, karena ternyata untuk makan saja mereka sulit.Biaya sudah habis untuk berobat namun tidak  ada tanda-tanda keadaan makin membaik.  Sudah saatnya rakyat mendapatkan layanan berkualitas, dari tenaga kesehatan yang pro pada pasien dan juga dengan harga yang terjangkau. Saya muak dengan sistem layanan kesehatan yang kaku dan sangat hospitalsentris ini. Indahnya dunia, kalau seluruh staf di rumah sakit pro pada rakyat daripada perusahaan farmasi. Saya kembalikan fikiran saya di ruang tunggu ini. Jam sudah menunjukkan waktu dimana dokter saya sudah datang dan saya harus menunggu di depan ruangannya. Menunggu, untuk perawatan  untuk tangan yang akan membawa saya ke Amerika Suatu saat nanti. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline